Senin, 21 Januari 2013

Penyebaran Marga Arab di Indonesia

Dalam dunia islam, baik dari sunni mapun syiah, di arab maupun di luar arab, bertarikat ataupun tidak, dikenal dengan adanya golongan-golongan yang mengaku sebagai ahlul bayt, atau sebagai keturunan nabi. Dengan berbagai silsilah yang dinyatakan sebagai yang paling valid atau benar, mereka banyak yang diagung-agungkan oleh ummat. Dalam sejarah Hejaz, keturunan nabi ini hingga abad ke-20 memegang peranan penting dalam pemerintahan arab bahkan setelah keruntuhan Turki. Semenjak masa-masa sebelumnya mereka ini mendapat tempat khusus dimata penduduk Hejaz. Mereka dibaiat menjadi penguasa dan imam serta pelindung tanah suci,

Dalam tatanan Hejaz, mereka diberikan sebutan Syarif untuk laki-laki dan Syarifah untuk perempuan. Sedangkan diluar Hejaz, dari beberapa golongan ada yang memberikan title Sayyid dan Sayyidah, atau juga dengan sebutan Habaib, dan lain sebagainya untuk memberikan satu tanda bahwa mereka yang diberikan titlr ini dianggap masih memiliki kaitan darah dengan nabi Muhammad saw.

Rabithah Alawiyah :: dalam artikel onlinenya, menyatakan bahwa menurut Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatri dalam bukunya Sirah al-Salaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin, para salaf kaum ‘Alawi di Hadramaut dibagi menjadi empat tahap yang masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri. Gelar yang diberikan oleh masyarakat Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar Alawiyin ialah :

IMAM (dari abad III H sampai abad VII H). Tahap ini ditandai perjuangan keras Ahmad al-Muhajir dan keluarganya untuk menghadapi kaum khariji. Menjelang akhir abad 12 keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal beberapa orang saja. Pada tahap ini tokoh-tokohnya adalah Imam Ahmad al-Muhajir, Imam Ubaidillah, Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid, Imam Salim bin Bashri.
SYAIKH (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini dimulai dengan munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah keturunan al-Muhajir. Pada masa ini terdapat beberapa tokoh besar seperti Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri. Ia lahir, dibesarkan dan wafat di Tarim.
HABIB (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV). Tahap ini ditandai dengan mulai membanjirnya hijrah kaum ‘Alawi keluar Hadramaut. Dan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat (India), kesultanan al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, al-Syahab di Siak dan Bafaqih di Filipina. Tokoh utama ‘Alawi masa ini adalah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya yang luar biasa, juga terdapat Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih, Habib Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Habib Husain bin syaikh Abu Bakar bin Salim, Habib Hasan bin Soleh al-Bahar, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi.
SAYYID (mulai dari awal abad XIV ). Tahap ini ditandai kemunduran kecermelangan kaum ‘Alawi. Di antara para tokoh tahap ini ialah Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar bin Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Husain bin Hamid al-Muhdhar. Sejarawan Hadramaut Muhammad Bamuthrif mengatakan bahwa Alawiyin atau qabilah Ba’alawi dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika. Qabilah Alawiyin di Hadramaut dianggap orang Yaman karena mereka tidak berkumpul kecuali di Yaman dan sebelumnya tidak terkenal di luar Yaman.
Jauh sebelum itu, yaitu pada abad-abad pertama hijriah julukan Alawi digunakan oleh setiap orang yang bernasab kepada Imam Ali bin Abi Thalib, baik nasab atau keturunan dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam arti persahabatan akrab. Kemudian sebutan itu (Alawi) hanya khusus berlaku bagi anak cucu keturunan Imam al-Hasan dan Imam al-Husein. Dalam perjalanan waktu berabad-abad akhirnya sebutan Alawi hanya berlaku bagi anak cucu keturunan Imam Alwi bin Ubaidillah. Alwi adalah anak pertama dari cucu-cucu Imam Ahmad bin Isa yang lahir di Hadramaut. Keturunan Ahmad bin Isa yang menetap di Hadramaut ini dinamakan Alawiyin diambil dari nama cucu beliau Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang dimakamkan di kota Sumul.
Kaum Arab, terutama yang beragama islam telah sejak berabad lamanya melakukan perniagaan dengan berbagai negara didunia, yang selanjutnya menciptakan jalur-jalur perdagangan dan komunitas-komunitas Arab baru diberbagai negara. Dalam berbagai sejarah dinyatakan bahwa kaum Arab yang datang ke Indonesia merupakan koloni Arab dari daerah sekitar Yaman dan Persia. Namun, yang dinyatakan berperan paling penting dan ini diperlihatkan dengan jenis madhab yang ada di Indonesia, dimungkinkan adalah dari Hadramaut. Dan orang-orang Hadramaut ini diperkirakan telah sampai ke Indonesia semenjak abad pertengahan (abad ke-13) sesudah adanya huru-hara di Baghdad.

Secara umum, tujuan awal kedatangan mereka adalah untuk berdagang sekaligus berdakwah, dan kemudian berangsur-angsur mulai menetap dan berkeluarga dengan masyarakat setempat. Dari mereka inilah kemudian muncul banyak tokoh dakwah yang termaktub dalam team Walisongo dan banyak tokoh dakwah islam hingga masa sekarang. Walaupun masih ada pendapat lain seperti menyebut dari Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, tampaknya itu semua adalah jalur penyebaran para Mubaligh dari Hadramawt yang sebagian besarnya adalah kaum Sayyid (Syarif). Beberapa buktinya (no 1 dan 2) adalah sebagian dari yang telah dikumpulkan oleh penulis Muhammad Al Baqir dalam Thariqah Menuju Kebahagiaan:

  1. L.W.C Van Den Berg dalam bukunya Le Hadramawt et Les Colonies Arabes dans l’Archipel Indien (1886) mengatakan:”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar diantara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramawt (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (yakni kaum Sayyid Syarif Hadramaut) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”  
  2. Dalam buku yang sama hal 192-204, Van Den Berg menulis:”Pada abad XV, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab mengikuti jejak nenek moyangnya." Perhatikanlah tulisan Van Den Berg ini yang spesifik menyebut abad XV, yang merupakan abad spesifik kedatangan dan / atau kelahiran sebagian besar Wali Songo di pulau Jawa. Abad XV ini jauh lebih awal dari abad XVIII yang merupakan kedatangan kaum Hadramawt gelombang berikutnya yaitu mereka yang sekarang kita kenal bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga hadramawt lainnya. 
  3. Hingga saat ini Umat Islam di Hadramawt bermadzhab Syafi’ie sama seperti mayoritas di Ceylon, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Sedangkan Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, kemudian Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) mayoritasnya bermadzhab Hanafi.
  4. Bahasa para pedagang Muslim yang datang ke Asia Tenggara (utamanya Malaka dan Nusantara) dinamakan bahasa Malay (Melayu) karena para pedagang dan Mubaligh yang datang di abad 14-15 sebagian besar datang dari pesisir India Barat yaitu Gujarat dan Malabar, yang mana orang-orang Malabar (sekarang termasuk neg. bagian Kerala) mempunyai bahasa Malayalam, walaupun asal-usul mereka adalah keturunan dari Hadramawt mengingat kesamaan madzhab Syafi’ie yang sangat spesifik dengan pengamalan tasawuf dan penghormatan kepada Ahlul Bait. Satu kitab fiqh mazhab Syafi’ie yang sangat popular di Indonesia Fathul Muin pengarangnya bahkan Zainuddin Al Malabary (berasal dari tanah Malabar), satu kitab fiqh yang sangat unik karena juga memasukkan pendapat kaum Sufi, bukan hanya pendapat kaum Fuqaha.
  5. Satu bukti yang sangat akurat adalah kesamaan Madzhab Syafi'ie dengan corak tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait yang sangat kental seperti kewajiban mengadakan Mawlid, membaca Diba & Barzanji, membaca beragam Sholawat Nabi, membaca doa Nur Nubuwwah (yang juga berisi doa keutamaan tentang cucu Rasul, Hasan dan Husayn) dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramawt, Mesir, Gujarat, Malabar, Ceylon, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Pengecualian mungkin hanya terhadap kaum Kurdistan di segitiga perbatasan Iraq, Turki dan Iran, yang mana mereka juga bermadzhab Syafi’ie dengan corak Tasawuf yang sangat kuat dan mengutamakan ahlul bait (Kitab Mawlid Barzanji dan Manaqib Syekh Abdul Qadir Jilani adalah karya Ulama mereka (Syekh Ja’far Barzanji) tapi tinggal di daerah pedalaman dan pegunungan, bukan pesisir seperti lainnya. Analisis sejarah diatas menandakan agama Islam dari madzhab dan corak ini sebagian besarnya disebarkan melalui jalur pelayaran dan perdagangan dan berasal dari satu sumber yaitu Hadramawt, karena Hadramawt adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi'ie dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan ahlul bait.
  6. Di abad 15 Raja-raja Jawa (yang berkerabat dengan Walisongo) seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar, yang mana di abad 14 di Gujarat sudah dikenal keluarga besar Jamaluddin Akbar cucu keluarga besar Datuk Azhimat Khan (Abdullah Khan) putra Abdul Malik putra Alwi putra Muhammad Shahib Mirbath Ulama besar Hadramawt Abad 13M. Keluarga besar ini sudah sangat terkenal sebagai Mubaligh Musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.
Keturunan Arab Hadramawt di Indonesia, seperti negara asalnya Yaman, terdiri 2 kelompok besar yaitu kelompok Alawi (Sayyidi) keturunan Rasul SAW (terutama melalui jalur Husayn bin Ali) dan Qabili yaitu kelompok diluar kaum Sayyid.
Nama-nama marga/keluarga keturunan Arab Hadramaut dan Arab lainnya yang terdapat di Indonesia, yang paling banyak diantaranya adalah:


  • Abud (Qabil) - AbdulAzis (Qabil) - Addibani (Qabil) - Afiff - Alatas (Sayyid) - Alaydrus (Sayyid) - Albar (Sayyid) - Algadrie (Sayyid) - Alhabsyi (Sayyid) - AlHamid - AlHadar - AlHadad (Sayyid) - AlJufri (Sayyid) - Alkatiri (Qabil) - Assegaff (Sayyid) - Attamimi -AlMuhazir
  • Ba'asyir (Qabil) - Baaqil (Sayyid) - Bachrak (Qabil) - Badjubier (Qabil) - Bafadhal - Bahasuan (Qabil) - Baraja (Syekh) - Basyaib (Qabil) - Basyeiban (Sayyid) - Baswedan (Qabil) - Baridwan - Bawazier (Sayyid) - BinSechbubakar (Sayyid)
  • Haneman
  • Jamalullail (Sayyid)
  • Kawileh (Qabil)
  • Maula Dawileh (Sayyid) - Maula Heleh/Maula Helah (Sayyid)
  • Nahdi (Qabil)
  • Shahab (Sayyid) - Shihab (Sayyid) - Sungkar (Qabil)
  • Thalib
  • Bahafdullah (Qabil) 
Nama-nama marga/keluarga keturunan Arab Hadramaut dan Arab lainnya yang terdapat di Indonesia:








1 Al Baar 21 Al Aidid 41 Bin Hud               


2 Al Jufri 22 Al Fad’aq 42 Ba’dokh



3 Al Jamalullail 23 Al Ba Faraj 43 Alhasni



4 Al Junaid 24 Ba Faqih 44 Barakwan



5 Al Bin Jindan 25 Al Bal Faqih 45 Al Mahdali



6 Al Jailani 26 Al Qadri 46 Al Hinduan



7 Al Hamid 27 Al- Kaff 47 Al Baiti



8 Al Hadad 28 Al- Muhdhar
48 Bin Syuaib




9 Al Kherid 29 Al Musawa 49 Basyaiban



10 Al Maula Khailah 30 Al Mutahhar




11 Al Maula Dawilah 31 Al Munawwar




12 Al Ba Raqbah 32 Al Hadi




13 Al Assegaf 33 Al Ba Harun




14 Al Bin Semit 34 Al Hasyim




15 Al Bin Sahal 35 Al Haddar




16 Al Syihabuddin 36 Al Bin Yahya




17 Al As- Safi 37 Bin Syekh Abubakar




18 Al Ba Abud 38 Bin Thahir




19 Al Ba Aqil 39 Bin Shihab




20 Al Idrus 40 Bin Hafidz










































Inilah kiranya ringkasan sejarah penyebaran kaum arab di dunia, terutama di Indonesia. Termasuk juga klasifikasi bebeapa gelar dari keturunan nabi yang dipakai oleh beberapa golongan, serta data beberapa ratus marga arab yang ada di Indonesia.
Apabila ada kesalahan dan kekurangan, dimohon adanya koreksi dan informasi masukan tambahan dari para pembaca, sehingga wacana ini semakin valid dan komplit. Silahkan dianalisis secara objektif dan mendalam, semoga berguna. Amin. Terimakasih.

(Diambil dan Diringkas dari Berbagai Sumber)
 
Firman Allah : 

"Sesungguhnya Allah hendak menghapuskan noda dan kotoran dari kamu sekalian, ahlulbaiyt, dan mensucikan kamu sekalian dengan sesuci-sucinya." (al-Quran s.al-Ahzab:33) 

 Sebuah Hadeeth riwayat Al Hakim dan disahihkan oleh Bukhari & Muslim menyebut : 

“Bintang-bintang merupakan (sarana) keselamatan bagi penghuni bumi (yang sedang belayar) dari bahaya tenggelam/karam sedangkaan ahlul-baitku sarana keselamatan bagi umatku dari perselisihan (dalam agama). Bila ada satu kabilah Arab yang membelakangi ahlul-baitku, mereka akan berselisih kemudian menjadi kelompok Iblis"

 

Keistimewaan ahlul bait

Sabda Rasulullah SAW:
"Mengapa ada orang-orang yang mengatakan bahwa hubungan kekerabatan dengan Rasulullah tidak bermanfaat pada hari kiamat? Sungguhlah, kekerabatanku berkesinambungan di dunia dan akhirat"
Sabda Rasulullah SAW:
"Bintang-bintang adalah keselamatan bagi penghuni langit, sedang ahlul-baitku keselamatan bagi penghuni bumi"

Ahlul bait adalah bekal dari Rasulullah

Sahih Muslim: Zain bin Arqam berkata Rasulullah bersabda:
"Amma ba'du. Hai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah hamba Allah. Utusan Tuhanku (Malaikat Maut) hampir tiba dan aku harus memenuhi panggilanNya. Aku tinggalkan pada kalian Ath-thaqalain (dua bekal berat). Yang pertama adalah Kitabullah (Al-Quran) , di dalamnya terdapat petunjuk dan cahay terang. Maka amalkan dan berpeganglah padanya". "Dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian kepada Allah mengenai ahlul-baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah mengenai ahlul-baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah mengenai ahlul-baitku"

Manfaat mencintai ahlul-bait

           Hadis riwayat Imam Ahmad bin Hambal:
"Barangsiapa mencitaiku dan mencintai keduanya itu (yakni Al Hassan dan Al-Hussein) serta mencintai ibu dan bapa mereka, yakni Fatimah az-Zahra dan Sayyidina 'Ali - kemudian ia meninggal dunia sebagai pengikut sunnahku, ia bersamaku di dalam syurga yang sederajat"
"Pada hari kiamat aku akan akan menjadi syafi' (penolong) bagi empat golongan. Yang menghormati keturunanku; yang memenuhi keperluan mereka; yang berupaya membantu urusan mereka pada waktu diperlukan dan yang mencintai mereka sepenuh hati"

Wasiat agar umat Islam mencintai ahlul-bait

Hadis riwayat At -Thabarani dan lain-lain:
"Belum sempurna keiimanan seorang hamba Allah sebelum kecintannya kepadaku melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri; sebelum kecintannya kepada keturunanku melebihi kecintaannya kepada keturunannya sendiri; sebelum kecintaannya kepada ahli-baitku melebihi kecintaannya kepada keluarganya sendiri, dan sebelum kecintannya kepada zatku melebihi kecintaannya kepada zatnya sendiri".
Ibnu 'Abbas RA berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
"Cintailah Allah atas kenikmatannya yang diberikanNya kepadamu sekalian dan cintailah aku dengan mencintai Allah dan cintailah ahlul-baitku karena mencintaiku"
Ad-Dailami meriwayatkan hadis dari Ali RA yang menyebut sabda Rasulullah SAW:
"Di antara kalian yang paling mantap berjalan di atas sirath ialah yang paling besasr kecintaannya kepada ahlul-baitku dan para sahabatku"

Siapakah Ahlul Bait

          Hadis Al Hakim berasal dari Zaid bin Arqam r.a.,
"Mereka (ahlul bait) adalah keturunanku, dicipta dari darah dagingku dan dikurniai pengertian serta pengetahuanku. Celakalah orang dari umatku yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan hubungan denganku melalui (pemutusan hubungan dengan) mereka. Kepada orang-orang seperti ini, Allah SWT tidak akan menurunkan syafaatku (pertolonganku)"

Minggu, 23 Desember 2012

Nabi juga Memperingati Maulid


Imam Muslim dalam Shahih-nya (2/819) meriwayatkan dari Abu Qatadah bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang puasa hari Senin, beliau menjawab, "Itu adalah hari aku dilahirkan dan hari turunnya wahyu kepadaku."
Pada abad ke-14 H, muncul sekelompok orang yang mengharamkan ziarah kubur, termasuk kubur Nabi SAW, melarang bertawassul dengan nabi-nabi dan orang-orang shalih, melarang membaca doa bersama-sama setelah shalat fardhu, termasuk melarang peringatan Maulid Nabi SAW.


Mereka menyebut peringatan Maulid sebagai bid’ah yang sesat. Bahkan sebagian mereka menyatakan, peringatan Maulid adalah perbuatan syirik, dan pelakunya adalah musyrik.

Tidak tertutup kemungkinan, karena ketidaktahuan umat, hingga kini masih ada di antara mereka yang juga bersikap demikian. Yang sering terucap di antara mereka adalah bahwa peringatan Maulid itu bid’ah, dan karena bid’ah hukumnya sesat.

Bahasa adalah fenomena. Dan, sebagai sebuah fenomena, barangkali memang sulit bagi kita untuk membendungnya. Demikian pula fenomena penggunaan kata “bid’ah” dalam masyarakat kita. Tanpa konteks tertentu, kata itu mungkin berkonotasi “haram”, “sesat”, “terlarang”, dan sebagainya. Tapi, apakah semua bid’ah itu haram?

Tidak! Para ulama membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah, bid’ah yang baik, dan bid’ah qabihah, bid’ah yang tercela.

Bid’ah hasanah adalah perbuatan-perbuatan yang belum dikenal pada masa Nabi SAW namun tidak bertentangan dengan Al-Quran dan as-sunnah. Contohnya, menghimpun Al-Quran ke dalam sebuah mushhaf, mengumpulkan orang-orang untuk mengerjakan shalat Tarawih berjama’ah.

Lalu bagaimana dengan sabda Rasulullah SAW “Setiap hal yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”?

Untuk menjawab itu, kita juga mesti menyimak sabda Rasulullah SAW yang lain, “Siapa yang membuat bid’ah sesat, yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya, atasnya dosa orang yang mengamalkannya, tanpa sedikit pun mengurangi dosa-dosa mereka.” Dari bagian kalimat “bid’ah sesat, yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya”, bisa dimaknai bahwa ada bid’ah lain, yang diridhai Allah dan Rasul-Nya, yakni bid’ah hasanah.

Jadi, yang dimaksud dengan hal baru dalam hadits “Setiap hal yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat” adalah hal-hal baru yang bathil, yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan perayaan Maulid jelas adalah bid’ah hasanah.

Di samping dalil tentang bid’ah itu, masih ada dalil-dalil lain yang sangat kuat ihwal disyari’atkannya Maulid:

•    Perintah mengagungkan hari dan tempat kelahiran beberapa nabi dalam Al-Quran dan sunnah.
•    Kisah Abu Lahab yang memerdekakan budaknya, Tsuwaibah Al-Aslamiyyah, karena gembira dengan kelahiran Nabi SAW.
• Peringatan yang dilakukan oleh Nabi SAW di hari kelahirannya dengan melakukan puasa pada hari Senin.
• Hadits shahih yang berasal dari Nabi SAW tentang puasa hari Asyura.
• Nabi SAW melakukan aqiqah bagi dirinya setelah diutus menjadi nabi.
• Perintah memuliakan hari Jum`at karena sebab diciptakannya Nabi Adam AS di hari itu.
• Penyebutan Allah SWT tentang kisah para nabi dalam Al-Quran, di antaranya kisah kelahiran Nabi Yahya AS, Maryam, dan Nabi Isa AS.
• Maulid sebagai perantara untuk melakukan berbagai perbuatan taat.
• Firman Allah SWT, “Katakanlah (Muhammad), ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” – QS Yunus (10): 58.
• Perayaan Maulid bukanlah ibadah tawqifiyah, ibadah yang pasti dan sudah jelas mutlak dalilnya, melainkan taqarrub yang mubah.
Kaidah ushul fiqh anna ma dakhalah al-ihtimal saqath al-istidlal, segala sesuatu yang mengandung kemungkinan tidak dapat dijadikan dalil.
Nafy al-`ilm la yulzam minh nafy al-wujud, ketidaktahuan tidak melazimkan ketidakadaan sesuatu.

Sumber: http://www.majalah-alkisah.com/index.php/dunia-islam/795-nabi-pun-memperingati-maulid

Senin, 10 Desember 2012

Abu Nawas dan Syair Ilahilas

Ilahi, lastu lilfirdausi ahla. Wala aqwa ‘ala naril jahimi, Fahab li tawbatan waghfir dzunubi. Fainaka ghafirud dzanbil adzimi

Tuhanku, Hamba tidaklah pantas menjadi penghuni surga (Firdaus).
Namun, hamba juga tidak kuat menahan panas api neraka.
Maka berilah hamba tobat dan ampunilah hamba atas dosa-dosa hamba.
Karena sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Mahaagung

Dua bait syair di atas tentu sudah sangat akrab di telinga masyarakat Indonesia terutama kaum tradisionalis Islam. Beberapa saat menjelang shalat Magrib atau Subuh, jemaah di masjid-masjid atau musala di pedesaan biasanya mendendangkan syair tersebut dengan syahdu sebagai puji-pujian. Konon, kedua bait tersebut adalah hasil karya tokoh kocak Abu Nawas. Ia adalah salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik. Abu Nawas juga muncul beberapa kali dalam kisah 1001 Malam.
Bagi masyarakat Islam Indonesia, nama Abu Nawas atau Abu Nuwas juga bukan lagi sesuatu yang asing. Abu Nawas dikenal terutama karena kelihaian dan kecerdikannya melontarkan kritik-kritik tetapi dibungkus humor. Mirip dengan Nasrudin Hoja, sesungguhnya ia adalah tokoh sufi, filsuf, sekaligus penyair. Ia hidup di zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad (806-814 M).



Selain cerdik, Abu Nawas juga dikenal dengan kenyentrikkannya. Sebagai penyair, mula-mula ia suka mabuk. Belakangan, dalam perjalanan spiritualnya mencari hakikat Allah dan kehidupan sejati, ia menemukan kehidupan rohaniahnya yang sejati meski penuh liku dan sangat mengharukan. Setelah mencapai tingkat spiritual yang cukup tinggi, inspirasi puisinya bukan lagi khamar, melainkan nilai-nilai ketuhanan. Ia tampil sebagai penyair sufi yang tiada banding.

Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.

Masa mudanya penuh perilaku kontroversial yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, di samping cita rasa kemanusiaan dan keadilan. Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran kepada Ya’qub al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, dan Azhar bin Sa’ad as-Samman. Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.

Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.

Dalam Al-Wasith fil Adabil ‘Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (sya’irul bilad).

Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.
Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah. Dua bait syair di atas merupakan salah satu syairnya yang dapat dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa spiritual yang dalam.
Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan – tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.

Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.
Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti - yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.

Sejumlah puisi Abu Nawas dihimpun dalam Diwan Abu Nuwas yang telah dicetak dalam berbagai bahasa. Ada yang diterbitkan di Wina, Austria (1885), di Greifswald (1861), di Kairo, Mesir (1277 H/1860 M), Beirut, Lebanon (1301 H/1884 M), Bombay, India (1312 H/1894 M). Beberapa manuskrip puisinya tersimpan di perpustakaan Berlin, Wina, Leiden, Bodliana, dan Mosul.
Salah satu cerita menarik berkenaan dengan Abu Nawas adalah saat menejelang sakaratulmautnya. Konon, sebelum mati ia minta keluarganya mengkafaninya dengan kain bekas yang lusuh. Agar kelak jika Malaikat Munkar dan Nakir datang ke kuburnya, Abu Nawas dapat menolak dan mengatakan. “Tuhan, kedua malaikat itu tidak melihat kain kafan saya yang sudah compang-camping dan lapuk ini. Itu artinya saya penghuni kubur yang sudah lama.”
Tentu ini hanyalah sebuah lelucon, dan memang kita selama ini hanya menyelami misteri kehidupan dan perjalanan tohoh sufi yang penuh liku dan sarat hikmah ini dalam lelucon dan tawa.

Rabu, 28 November 2012


Macam'' Sholawat dan Penjelasan Ringkas






Artinya: "Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Say-yidina Muhammad yang telah Engkau penuhi hatinya dengan keagungan-Mu, dan telah Engkau penuhi matanya dengan sifat keindahan-Mu, sehingga ia menjadi senang-gembira, terbantu dan tertolong; juga kepada keluarganya dan para sahabatnya. Limpahkanlah pula kesejahteraan yang banyak kepada mereka semuanya. Segala puji bagi Allah atas semua itu."

Penjelasan:
Abû 'Abdullah Al-Nu'mân pernah bermimpi melihat Nabi Saw., lalu ia bertanya, "Ya Rasulullah, shalawat manakah yang paling utama?
Beliau menjawab, "Katakanlah...(lalu Baginda Nabi menyebutkan shalawat ini)."
Ada lagi cerita lainnya tentang shalawat ini, seperti yang disebutkan di dalam kitab Dalâ'il al-Khayrât.


 
Artinya: "Ya Allah, aku memohon kepada-Mu,semoga Engkau melimpahkan shalawat kepada Sayyidina Muham-mad, kepada seluruh nabi dan rasul, serta kepada keluarga dan sahabat mereka semuanya; serta semoga Engkau mengampuni dosa-dosaku yang telah lalu dan Engkau memelihara diriku dari dosa- dosa yang tersisa."

Penjelasan:
Shalawat ini berasal dari Sayyid Ibrâhîm Al-Matbulî






Artinya: "Ya Allah, limpahkanlah shalawat, salam, dan berkah kepada Sayyidina Muhammad, yang pemaaf dan penyayang,. serta yang mempunyai akhlak yang agung; juga kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan isteri-isterinya di setiap saat sebanyak jumlah semua yang baru dan yang lama."

Penjelasan:
Shalawat ini lebih dikenal dengan sebutan shalawat Al-Ra'ûf al-Rahîm. Sayyid Ahmad Al-Shâwî mengatakan, "Shalawat ini termasuk sighat shalawat yang paling mulia. Oleh karena itu, seyogyanya diperbanyak membacanva."






Artinya: "Ya Allah, limpahkanlah shalawat, salam, dan berkah kepada Sayyidina Muhamad dan kepada ke-luarganya, sebanyak jumlah nikmat Allah dan karunia-Nya."

Penjelasan:
Shalawat di atas lebih dikenal dengan sebutan shalawat Al-In'âm. Khasiatnya adalah seperti yang dikatakan oleh Sayyid Ahmad Al-Shâwî, yakni membuka pintu kenik-matan dunia dan akhirat bagi pembacanya, sementara pahalanya tidak terhingga.






Artinya: "Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada cahaya yang berkilau, bulan yang memancar, purnama yang naik, hujan yang melimpah, pertolongan yang luas, kekasih yang menolong, Nabi yang membuat undang-undang, Rasul yang menjelaskan, orang yang diperintah yang taat, kawan bicara yang mendengarkan, pedang yang tajam, hati yang khusyuk, mata yang mengucurkan airmata, yakni Sayyidina Muhammad; juga kepada keluarganya dan anak-anaknya yang mulia; kepada sahabat-sahabatnya yang agung; serta kepada para pengikutnya diantara ahli sunnah dan Islam."






Artinya: "Ya Allah limpahkanlah shalawat dan salam, kepada Sayyidina Muhammad, shalawat yang dengannya dituliskan garis-garis, dilapangkan dada, serta dimudahkan segala urusan, berkat rahmat dari-Mu, duhai Tuhan Yang Maha Pengampun, serta kepada keluarga dan para sahabatnya."






Artinya: "Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam kepada Sayyidina Muuhammad dan orang-orang yang menolongnya, sebanyak jumlah apa yang Engkau ketahui dari permulaan urusan sampai akhirnya, serta kepada keluarga dan Sahabat-sahabatnya."

Penjelasan:
Shalawat ini dan dua shalawat sebelumnya (no. 67 dan 68) bersumber dari Sayyid Ahmad Al-Rifâ'i ra. dan termasuk shalawat Al-Jawâmi' al-Kawâmil (kumpulan kesempurnaan).
Dikatakan bahwa, barangsiapa yang membacanya (yang mana saja dari ketiganya) sesudah salat shubuh atas niat dan keinginan apa saja, niscaya akan diperolehnya dengan izin Allah.




Artinya: "Ya Allah, dengan-Mu aku bertawassul, dari-Mu aku meminta, kepada-Mu dan karena-Mu dan karena-Mu-bukan karena sesuatu Diri-Mu aku rindu. Aku tidak meminta dari-Mu selain Diri-Mu dan tidak meminta dari-Mu kecuali kepada-Mu.
Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dalam perkenan itu dengan wasilah, yang teragung dan keutamaan yang ter-besar; yakni Sayyidina Muhammad, manusia pilihan, orang yang suci dan diridhai, serta Nabi pilihan. Dengannya aku memohon kepada-Mu agar Engkau memberikan shalawat kepadanya dengan shalawat yang bersifat abadi, lestari, dan mandiri; serta bersifat Ilahiyah dan Rabbaniyah, dimana ia menyaksikan bagiku hal itu di dalam mata ke-sempurnaanya dengan kesaksiannya makrifat terhadapanya; juga kepada keluarganya dan para saha-batnya. Sebab, Engkaulah penolong atas itu. Tiada upaya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. "






Artinya: "Ya Allah limpahkanlah shalawat atas Ahmad, utusan-Mu. Aku memohon kepada-Nya, ya Allah, dengannya, dan dengannya aku memohon kepada-Mu; agar Engkau melimpahkan shalawat kepadanya; dengan shalawat yang hakiki, untuk mengkhususkan dengannya, yang umum dalam seluruh kesatuan huruf dan nama serta dalam seluruh tingkatan akal dan ilmu; dengan shalawat yang berkesinambungan, yang tidak mungkin dipisahkan dengan cara dicoba atau sara lainnya, bahkan mustahil secara akal maupun naqli; juga kepada keluarga dan para sahabatnya. Limpahkanlah pula kesejahteraan yang banyak kepadanya."

Penjelasan
Shalawat ini dan shalawat sebelumnya berasal dari sumber yang sama yaitu, dari 'Arif Rabbanî, Sayyid Muhammad Wafâ' Al-Syadzili r.a., yang saya nukil dari kitab Masâliku al-Hunafâ'.







Artinya: "Ya Allah, limpahkanlah Shalawat, Salam, dan berkah, kepada orang yang karenanya seluruh alam menjadi mulia; limpahkanlah shalawat, salam, dan berkah kepada Sayyidina Muhammmad yang Engkau tampakkan dengannya petunjuk kebajikan, limpahkanlah shalawat, salam dan berkah kepada Sayyidina Muhammad yang telah menjelaskan bagian terkecil dari Al-Quran, limpahkanlah Shalawat, salam, dan berkah kepada Sayyidina Muhammad, pemimpin orang-orang terkemuka dan penyebab keberadaan setiap manusia, dan limpahkanlah shalawat, salam, dan berkah kepada Sayyidina Muhammad yang membangun tiang-tiang syariat bagi alam manusia dan jin, yang menjelaskan perilaku tarekat bagi orang-orang yang bertanya, dan yang merumuskan ilmu-ilmu hakikat bagi orang-orang arif
Limpahkanlah ya Allah, shalawat, salam, dan berkah kepadanya dengan shalawat yang sesuai dengan kedu-dukannya yang mulia dan derajatnya yang tinggi. Lim-pahkanlah kesejahteraan yang banyak dan selalu. Ya Allah, ya Rahman, ya Rahim.
Ya Allah, limpahkanlah shalawat, salam, dan berkah kepada Sayyidina Muhammad yang telah menghiasi mah-ligai hati, menampakkan rahasia yang gaib, dan pintu semua yang dipinta. Limpahkanlah ya Allah, shalawat dan salam kepadanya selama matahari menyinari alam Lim-pahkanlah shalawat, salam, dan berkah kepada orang yang telah mengucapkan kepada kami dengan ban-tuannya, kedermawanan. Ya Allah, ya Rahman, ya Rahim.
Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Sayyidina Muhammad, dengan shalawat yang mendekatkan orang-orang jauh diantara kami ke hadirat Rabbaniyah, dan membawa orang-orang yang dekat dari kami ke maqam ilahiah yang tidak berujung. Limpahkanlah ya Allah, sha-lawat kepadanya dengan shalawat yang melapangkan dada, memudahkan urusan, dan menyingkap tabir, serta limpahkanlah pula kesejahteraan yang banyak, sampai Hari Kiamat. Amin."

Penjelasan
Shalawat di atas adalah yang dipakai oleh Sayyid Mushtafa Al-Bakrî dl saat mengakhiri wirid-nya yang dikenal dengan Wird al-Sikhr.






Artinya: "Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas Sayyidina Muhammad dengan semua shalawat yang Engkau sukai baginya, dan dalam setiap waktu yang Engkau sukai atasnya.
Ya Allah, limpahkanlah kesejahteraan kepada Sayyidina Muhammad dengan semua kesejahteraan yang Engkau sukai baginya, dan dalam setiap waktu yang Engkau sukai atasnya, Shalawat dan salam semoga selalu (tercurah) menurut keabadian-Mu, sebanyak jumlah yang Engkau ketahui, setimbang dengan apa yang Engkau ketahui, se-penuh apa yang Engkau ketahui, dan sebanyak tinta ka-limat-Mu, serta berlipat-lipat ganda dari itu.
Ya Allah, bagi-Mu-lah pujian dan syukur sebanyak itu pula, atas semua itu dan di dalam semua itu; juga kepada ke-luarganya, sahabat-sahabatnya dan saudara-saudaranya."

Penjelasan
Shalawat ini berasal dari Sayyid Murtadhâ Al-Zubaydi.







Artinya: "Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam kepada Sayyidina Muhammad, dengan shalawat yang menjadi pintu yang disaksikan bagi kami di sisi Allah, dan yang menjadi tirai yang tertutup di sisi musuh-musuhnya juga kepada keluarga dan para sahabatnya."






Artinya: "Ya Allah, aku memohon dengan asma-Mu yang agung yang tertulis dari cahaya Wajah-Mu yang Maha-tinggi dan Mahabesar; yang kekal dan abadi, di dalam kalbu Rasul dan Nabi-Mu, Muhammad; aku memohon dengan asma-Mu yang agung dan tunggal dengan kesatuan yang manuggal, yang Maha Agung dari kesatuan jumlah, dan yang Maha Suci dari setiap sesuatu -dan dengan hak Bismillâhirrahmânirrahîmi, Qul Huwallâhu ahad, Allâhu al-Shamad, lam Yalid walam Yûlad, walam Yakun lahu Kufwân Ahad, semoga Engkau melimpahkan shalawat kepada junjungan kami, Muhammad, rahasia kehidupan yang ada, sebab terbesar bagi yang ada, dengan shalawat yang menetapkan iman dalam hatiku, dan mendorongku agar menghafalkan Al-Quran, memberikan pemahaman bagiku dari ayat-ayatnya, mem-bukakan bagiku dengannya cahaya surga dan cahaya nikmat, serta cahaya pandangan kepada wajah-Mu yang mulia, juga kepada keluarga dan para sahabatnya. Limpahkan pula salam sejahtera kepadanya."

Penjelasan:
Shalawat ini dan yang sebelumnya (no.74) adalah berasal dari Al-'Arif Billâh Sayyid Taqiyyuddin Al-Hanbalî.
 
 
Sumber : 
http://pustaka.abatasa.com/pustaka/detail/shalawat/allsub/183/lafadz-lafadz-shalawat-dan-penjelasannya-3.html

 

Minggu, 18 November 2012

Ratib al-Haddad dan Sejarahnya

Ratib Al-Haddad ini mengambil nama dari nama penyusunnya, yaitu Imam Abdullah bin Alawi Al-Haddad, seorang pembaharu Islam (mujaddid) yang terkenal. Daripada doa-doa dan zikir-zikir karangan beliau, Ratib Al-Haddad lah yang paling terkenal dan masyhur. Ratib yang bergelar Al-Ratib Al-Syahir (Ratib Yang Termasyhur) disusun berdasarkan inspirasi, pada malam Lailatul Qadar 27 Ramadhan 1071 Hijriyah (bersamaan 26 Mei 1661).
Ratib ini disusun bagi menunaikan permintaan salah seorang murid beliau, ‘Amir dari keluarga Bani Sa’d yang tinggal di sebuah kampung di Shibam, Hadhramaut. Tujuan ‘Amir membuat permintaan tersebut ialah untuk membentengi dengan suatu wirid dan zikir untuk amalan penduduk kampungnya agar mereka dapat mempertahan dan menyelamatkan diri daripada ajaran sesat yang sedang melanda Hadhramaut ketika itu.
Pertama kalinya Ratib ini dibaca ialah di kampung ‘Amir sendiri, yaitu di kota Shibam setelah mendapat izin dan ijazah daripada Al-Imam Abdullah Al-Haddad sendiri. Selepas itu Ratib ini dibaca di Mesjid Al-Imam Al-Haddad di Al-Hawi, Tarim dalam tahun 1072 Hijriah bersamaan tahun 1661 Masehi. Pada kebiasaannya ratib ini dibaca berjamaah bersama doa dan nafalnya, setelah solat Isya’. Pada bulan Ramadhan ia dibaca sebelum solat Isya’ bagi mengelakkan kesempitan waktu untuk menunaikan solat Tarawih. Mengikut Imam Al-Haddad di kawasan-kawasan di mana Ratib al-Haddad ini diamalkan, dengan izin Allah kawasan-kawasan tersebut selamat dipertahankan daripada pengaruh sesat tersebut.
Apabila Imam Al-Haddad berangkat menunaikan ibadah Haji, Ratib Al-Haddad pun mula dibaca di Makkah dan Madinah. Sehingga hari ini Ratib berkenaan dibaca setiap malam di Bab al-Safa di Makkah dan Bab al-Rahmah di Madinah. Habib Ahmad bin Zein Al-Habsyi pernah menyatakan bahawa sesiapa yang membaca Ratib Al-Haddad dengan penuh keyakinan dan iman dengan terus membaca “ La ilaha illallah” hingga seratus kali (walaupun pada kebiasaannya dibaca lima puluh kali), ia mungkin dikurniakan dengan pengalaman yang di luar dugaannya.
Beberapa perbedaan boleh didapati di dalam beberapa cetakan ratib Haddad ini terutama selepas Fatihah yang terakhir. Beberapa doa ditambah oleh pembacanya. Al Marhum Al-Habib Ahmad Masyhur bin Taha Al-Haddad memberi ijazah untuk membaca Ratib ini dan menyarankannya dibaca pada masa–masa yang lain daripada yang tersebut di atas juga di masa keperluan dan kesulitan. Mudah-mudahan barangsiapa yang membaca ratib ini diselamatkan Allah daripada bahaya dan kesusahan. Amin.
Ketahuilah bahawa setiap ayat, doa, dan nama Allah yang disebutkan di dalam ratib ini telah dipetik daripada Al-Quran dan hadith Rasulullah S.A.W. Terjemahan yang dibuat di dalam ratib ini, adalah secara ringkas. Bilangan bacaan setiap doa dibuat sebanyak tiga kali, kerana ia adalah bilangan ganjil (witir). Ini ialah berdasarkan saranan Imam Al-Haddad sendiri. Beliau menyusun zikir-zikir yang pendek yang dibaca berulang kali, dan dengan itu memudahkan pembacanya. Zikir yang pendek ini, jika dibuat selalu secara istiqamah, adalah lebih baik daripada zikir panjang yang dibuat secara berkala atau cuai[1]. Ratib ini berbeza daripada ratib-ratib yang lain susunan Imam Al-Haddad kerana ratib Al-Haddad ini disusun untuk dibaca lazimnya oleh kumpulan atau jamaah. Semoga usaha kami ini diberkahi Allah.
Keutamaan Ratib Hadad. (1)
Cerita-cerita yang dikumpulkan mengenai kelebihan RatibAl-Haddad banyak tercatat dalam buku Syarah Ratib Al-Haddad, antaranya: Telah berkata Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Jufri yang bertempat tinggal di Seiwun (Hadhramaut): “Pada suatu masa kami serombongan sedang menuju ke Makkah untuk menunaikan Haji, bahtera kami terkandas tidak dapat meneruskan perjalanannya kerana tidak ada angin yang menolaknya. Maka kami berlabuh di sebuah pantai, lalu kami isikan gerbah-gerbah (tempat isi air terbuat dari kulit) kami dengan air, dan kami pun berangkat berjalan kaki siang dan malam, kerana kami bimbang akan ketinggalan Haji. Di suatu perhentian, kami cuba meminum air dalam gerbah itu dan kami dapati airnya payau dan masin, lalu kami buangkan air itu. Kami duduk tidak tahu apa yang mesti hendak dibuat. Maka saya anjurkan rombongan kami itu untuk membaca Ratib Haddad ini, mudah-mudahan Allah akan memberikan kelapangan dari perkara yang kami hadapi itu. Belum sempat kami habis membacanya, tiba-tiba kami lihat dari kejauhan sekumpulan orang yang sedang menunggang unta menuju ke tempat kami, kami bergembira sekali. Tetapi ketika mereka mendekati kami, kami dapati mereka itu perompak-perompak yang kerap merampas harta-benda orang yang lalu-lalang di situ. Namun rupanya Allah Ta’ala telah melembutkan hati mereka bila mereka dapati kami terkandas di situ, lalu mereka memberi kami minum dan mengajak kami menunggang unta mereka untuk disampaikan kami ke tempat sekumpulan kaum Syarif* tanpa diganggu kami sama sekali, dan dari situ kami pun berangkat lagi menuju ke Haji, syukurlah atas bantuan Alloh SWT karena berkat membaca Ratib ini.
Cerita ini pula diberitakan oleh seorang yang mencintai keturunan Sayyid, katanya: “Sekali peristiwa saya berangkat dari negeri Ahsa’i menuju ke Hufuf. Di perjalanan itu saya terlihat kaum Badwi yang biasanya merampas hak orang yang melintasi perjalanan itu. Saya pun berhenti dan duduk, di mana tempat itu pula saya gariskan tanahnya mengelilingiku dan saya duduk di tengah-tengahnya membaca Ratib ini. Dengan kuasa Alloh mereka telah berlalu di hadapanku seperti orang yang tidak menampakku, sedang aku memandang mereka.” Begitu juga pernah berlaku semacam itu kepada seorang alim yang mulia, namanya Hasan bin Harun ketika dia keluar bersama-sama teman-temannya dari negerinya di sudut Oman menuju ke Hadhramaut. Di perjalanan mereka dibajak oleh gerombolan perompak, maka dia menyuruh orang-orang yang bersama-samanya membaca Ratib ini. Alhamdulillah, gerombolan perompak itu tidak mengapa-apakan siapapun, malah mereka berlalu dengan tidak mengganggu.
Apa yang diberitakan oleh seorang Arif Billah Abdul Wahid bin Subait Az-Zarafi, katanya: Ada seorang penguasa yang ganas yang dikenal dengan nama Tahmas yang juga dikenal dengan nama Nadir Syah. Tahmas ini adalah seorang penguasa ajam yang telah menguasai banyak dari negeri-negeri di sekitarannya. Dia telah menyediakan tentaranya untuk memerangi negeri Aughan. Sultan Aughan yang bernama Sulaiman mengutus orang kepada Imam Habib Abdullah Haddad memberitahunya, bahwa Tahmas sedang menyiapkan tentera untuk menyerangnya. Maka Habib Abdullah Haddad mengirim Ratib ini dan menyuruh Sultan Sulaiman dan rakyatnya membacanya. Sultan Sulaiman pun mengamalkan bacaan Ratib ini dan memerintahkan tenteranya dan sekalian rakyatnya untuk membaca Ratib i ini dengan bertitah: “Kita tidak akan dapat dikuasai Tahmas kerana kita ada benteng yang kuat, iaitu Ratib Haddad ini.” Benarlah apa yang dikatakan Sultan Sulaiman itu, bahwa negerinya terlepas dari penyerangan Tahmas dan terselamat dari angkara penguasa yang ganas itu dengan sebab berkat Ratib Haddad ini.
Saudara penulis Syarah Ratib Al-Haddad ini yang bernama Abdullah bin Ahmad juga pernah mengalami peristiwa yang sama, yaitu ketika dia berangkat dari negeri Syiher menuju ke bandar Syugrah dengan kapal, tiba-tiba angin macet tiada bertiup lagi, lalu kapal itu pun terkandas tidak bergerak lagi. Agak lama kami menunggu namun tidak berhasil juga. Maka saya mengajak rekan-rekan membaca Ratib ini , maka tidak berapa lama datang angin membawa kapal kami ke tujuannya dengan selamat dengan berkah membaca Ratib ini.
Suatu pengalaman lagi dari Sayyid Awadh Barakat Asy-Syathiri Ba’alawi ketika dia belayar dengan kapal, lalu kapal itu telah tersesat jalan sehingga membawanya terkandas di pinggir sebuah batu karang. Ketika itu angin juga macet tidak dapat menggerakkan kapal itu keluar dari bahayanya. Kami sekalian merasa bimbang, lalu kami membaca Ratib ini dengan niat Alloh akan menyelamatkan kami. Maka dengan kuasa Alloh SWT datanglah angin dan menarik kami keluar dari tempat itu menuju ke tempat tujuan kami. Maka kerana itu saya amalkan membaca Ratib ini. Pada suatu malam saya tertidur sebelum membacanya, lalu saya bermimpi Habib Abdullah Haddad datang mengingatkanku supaya membaca Ratib ini, dan saya pun tersadar dari tidur dan terus membaca Ratib Haddad itu.
Di antaranya lagi apa yang diceritakan oleh Syeikh Allamah Sufi murid Ahmad Asy-Syajjar, iaitu Muhammad bin Rumi Al-Hijazi, dia berkata: “Saya bermimpi seolah-olah saya berada di hadapan Habib Abdullah Haddad, penyusun Ratib ini. Tiba-tiba datang seorang lelaki memohon sesuatu daripada Habib Abdullah Haddad, maka dia telah memberiku semacam rantai dan sayapun memberikannya kepada orang itu. Pada hari besoknya, datang kepadaku seorang lelaki dan meminta daripadaku ijazah (kebenaran guru) untuk membaca Ratib Haddad ini, sebagaimana yang diijazahkan kepadaku oleh guruku Ahmad Asy-Syajjar. Aku pun memberitahu orang itu tentang mimpiku semalam, yakni ketika saya berada di majlis Habib Abdullah Haddad, lalu ada seorang yang datang kepadanya. Kalau begitu, kataku, engkaulah orang itu.” Dari kebiasaan Syeikh Al-Hijazi ini, dia selalu membaca Ratib Haddad ketika saat ketakutan baik di siang hari mahupun malamnya, dan memang jika dapat dibaca pada kedua-dua masa itulah yang paling utama, sebagaimana yang dipesan oleh penyusun Ratib ini sendiri. Ada seorang dari kota Quds (Syam) sesudah dihayatinya sendiri tentang banyak kelebihan membaca Ratib ini, dia lalu membuat suatu ruang di sudut rumahnya yang dinamakan Tempat Baca Ratib, di mana dikumpulkan orang untuk mengamalkan bacaan Ratib ini di situ pada waktu siang dan malam.
Di antaranya lagi, apa yang diberitakan oleh Sayyid Ali bin Hassan, penduduk Mirbath, katanya: “Sekali peristiwa aku tertidur sebelum aku membaca Ratib, aku lalu bermimpi datang kepadaku seorang Malaikat mengatakan kepadaku: “Setiap malam kami para Malaikat berkhidmat buatmu begini dan begitu dari bermacam-macam kebaikan, tetapi pada malam ini kami tidak membuat apa-apa pun karena engkau tidak membaca Ratib. Aku terus terjaga dari tidur lalu membaca Ratib Haddad itu dengan serta-merta.
Setengah kaum Sayyid bercerita tentang pengalamannya: “Jika aku tertidur ketika aku membaca Ratib sebelum aku menghabiskan bacaannya, aku bermimpi melihat berbagai-bagai hal yang mengherankan, tetapi jika sudah menghabiskan bacaannya, tidak bermimpi apa-apa pun.”
Di antara yang diberitakan lagi, bahawa seorang pecinta kaum Sayyid, Muhammad bin Ibrahim bin Muhammad Mughairiban yang tinggal di negeri Shai’ar, dia bercerita: “Dari adat kebiasaan Sidi Habib Zainul Abidin bin Ali bin Sidi Abdullah Haddad yang selalu aku berkhidmat kepadanya tidak pernah sekalipun meninggalkan bacaan Ratib ini. Tiba-tiba suatu malam kami tertidur pada awal waktu Isya’, kami tidak membaca Ratib dan tidak bersembahyang Isya’, semua orang termasuk Sidi Habib Zainul Abidin. Kami tidak sedarkan diri melainkan di waktu pagi, di mana kami dapati sebagian rumah kami terbakar.
Kini tahulah kami bahwa semua itu berlaku karena tidak membaca Ratib ini. Sebab itu kemudian kami tidak pernah meninggalkan bacaannya lagi, dan apabila sudah membacanya kami merasa tenteram, tiada sesuatupun yang akan membahayakan kami, dan kami tidak bimbang lagi terhadap rumah kami, meskipun ia terbuat dari dedaunan korma, dan bila kami tidak membacanya, hati kami tidak tenteram dan selalu kebimbangan.”
Berkata Habib Alwi bin Ahmad, penulis Syarah Ratib Al-Haddad: “Siapa yang melarang orang membaca Ratib ini dan juga wirid-wirid para salihin, niscaya dia akan ditimpa bencana yang berat daripada Allah Ta’ala, dan hal ini pernah berlaku dan bukan omong-omong kosong.” Berkata Sidi Habib Muhammad bin Zain bin Semait Ba’alawi di dalam kitabnya Ghayatul Qasd Wal Murad: Telah berkata Saiyidina Habib Abdullah Haddad: “Siapa yang menentang atau membangkang orang yang membaca Ratib kami ini dengan secara terang-terangan atau disembunyikan pembangkangannya itu akan mendapat bencana seperti yang ditimpa ke atas orang-orang yang membelakangi zikir dan wirid atau yang lalai hati mereka dari berzikir kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman: “Dan barangsiapa yang berpaling dari mengingatiKu, maka baginya akan ditakdirkan hidup yang sempit.” ( Thaha: 124 ) Allah berfirman lagi: “Dan barangsiapa yang berpaling dari mengingati Tuhan Pemurah, Kami balakan baginya syaitan yang diambilnya menjadi teman.”
( Az-Zukhruf: 36 ) Allah berfirman lagi: “Dan barangsiapa yang berpaling dari mengingat Tuhannya, Kami akan menurukannya kepada siksa yang menyesakkan nafas.” ( Al-Jin: 17)
(1) Dipetik dari: Syarah Ratib Haddad: Analisa Dan Komentar – karangan Syed Ahmad Smith, terbitan Pustaka Nasional Pte. Ltd.
الراتب الشهير
للحبيب عبد الله بن علوي الحداد
Ratib Al Haddad
Moga-moga Allah merahmatinya [Rahimahu Allahu Ta’ala]
يقول القارئ: الفَاتِحَة إِلَى حَضْرَةِ سَيِّدِنَا وَشَفِيعِنَا وَنَبِيِّنَا وَمَوْلانَا مُحَمَّد صلى الله عليه وسلم – الفاتحة-
1. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. اَلرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ. ماَلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ إِيِّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ. اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ. صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِّيْنَ. آمِيْنِ
2. اَللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّموَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَآءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ وَلاَ يَؤُدُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ العَلِيُّ العَظِيْمُ.
3. آمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَآ أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّه وَالْمُؤْمِنُوْنَ كُلٌّ آمَنَ بِاللهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْناَ وَأَطَعْناَ غُفْراَنَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيْرُ
.
4. لاََ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَآ إِنْ نَسِيْنَآ أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنآ أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْناَ عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.
5 لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ. (X3)

6. سٌبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اْللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ. (X3)
7.سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحاَنَ اللهِ الْعَظِيْمِ. (X3)
8. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ. (X3)
9.اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ. ( X3)
10. أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّآمَّاتِ مِنْ شَرِّمَا خَلَقَ. (X3)
11. بِسْـمِ اللهِ الَّذِي لاَ يَضُـرُّ مَعَ اسْـمِهِ شَيْءٌ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي الْسَّمَـآءِ وَهُوَ الْسَّمِيْـعُ الْعَلِيْـمُ. (X3)
12. رَضِيْنَـا بِاللهِ رَبًّا وَبِالإِسْـلاَمِ دِيْنـًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيّـًا. (X3)
13. بِسْمِ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَالْخَيْرُ وَالشَّـرُّ بِمَشِيْئَـةِ اللهِ. (X3)
14. آمَنَّا بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ تُبْناَ إِلَى اللهِ باَطِناً وَظَاهِرًا. (X3)
15. يَا رَبَّنَا وَاعْفُ عَنَّا وَامْحُ الَّذِيْ كَانَ مِنَّا. (X3)
16. ياَ ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْراَمِ أَمِتْناَ عَلَى دِيْنِ الإِسْلاَمِ. (X7)
17. ياَ قَوِيُّ ياَ مَتِيْـنُ إَكْفِ شَرَّ الظَّالِمِيْـنَ. (X3)
18. أَصْلَحَ اللهُ أُمُوْرَ الْمُسْلِمِيْنَ صَرَفَ اللهُ شَرَّ الْمُؤْذِيْنَ. (X3)
19. يـَا عَلِيُّ يـَا كَبِيْرُ يـَا عَلِيْمُ يـَا قَدِيْرُ
يـَا سَمِيعُ يـَا بَصِيْرُ يـَا لَطِيْفُ يـَا خَبِيْرُ. (X3)
20. ياَ فَارِجَ الهَمِّ يَا كَاشِفَ الغَّمِّ يَا مَنْ لِعَبْدِهِ يَغْفِرُ وَيَرْحَمُ. (X3)
21. أَسْتَغْفِرُ اللهَ رَبَّ الْبَرَايَا أَسْتَغْفِرُ اللهَ مِنَ الْخَطَاياَ.(X4)
22. لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. (X50)
23. مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ وَمَجَّدَ وَعَظَّمَ وَرَضِيَ اللهُ تَعاَلَى عَنْ آلِ وَأَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ، وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِ التَّابِعِيْنَ بِإِحْسَانٍ مِنْ يَوْمِنَا هَذَا إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَعَلَيْناَ مَعَهُمْ وَفِيْهِمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
24. بِسْم اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ.
قُلْ هُوَ اللهُ أَحَـدٌ. اَللهُ الصَّمَـدُ. لَمْ يَلِـدْ وَلَمْ يٌوْلَـدْ. وَلَمْ يَكُـنْ لَهُ كُفُـوًا أَحَـدٌ. (3X3)
25. بِسْم اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ، مِنْ شَرِّ ماَ خَلَقَ، وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ، وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ، وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَد
26. بِسْم اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ، مَلِكِ النَّاسِ، إِلَهِ النَّاسِ، مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ، اَلَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِي صُدُوْرِ النَّاسِ، مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ.
27. اَلْفَاتِحَةَ
إِلَى رُوحِ سَيِّدِنَا الْفَقِيْهِ الْمُقَدَّمِ مُحَمَّد بِن عَلِيّ باَ عَلَوِي وَأُصُولِهِمْ وَفُرُوعِهِمْ وَكفَّةِ سَادَاتِنَا آلِ أَبِي عَلَوِي أَنَّ اللهَ يُعْلِي دَرَجَاتِهِمْ فِي الْجَنَّةِ وَيَنْفَعُنَا بِهِمْ وَبِأَسْرَارِهِمْ وَأَنْوَارِ هِمْ فِي الدِّيْنِ وَالدُّنْياَ وَالآخِرَةِ.
28. اَلْفَاتِحَةَ
إِلَى أَرْوَاحِ ساَدَاتِنَا الصُّوْفِيَّةِ أَيْنَمَا كَانُوا فِي مَشَارِقِ الأَرْضِ وَمَغَارِبِهَا وَحَلَّتْ أَرْوَاحُهُمْ – أَنَّ اللهَ يُعْلِي دَرَجَاتِهِمْ فِي الْجَنَّةِ وَيَنْفَعُنَا بِهِمْ وَبِعُلُومِهِمْ وَبِأَسْرَارِهِمْ وَأَنْوَارِ هِمْ، وَيُلْحِقُنَا بِهِمْ فِي خَيْرٍ وَعَافِيَةٍ.
29. اَلْفَاتِحَةَ
إِلَى رُوْحِ صاَحِبِ الرَّاتِبِ قُطْبِ الإِرْشَادِ وَغَوْثِ الْعِبَادِ وَالْبِلاَدِ الْحَبِيْبِ عَبْدِ اللهِ بِنْ عَلَوِي الْحَدَّاد وَأُصُوْلِهِ وَفُرُوْعِهِ أَنَّ اللهَ يُعْلِي دَرَجَاتِهِمْ فِي الْجَنَّة وَيَنْفَعُنَا بِهِمْ وَأَسْرَارِهِمْ وَأَنْوَارِهِمْ بَرَكَاتِهِمْ فِي الدِّيْنِ وَالدُّنْياَ وَالآخِرَةِ.
30. اَلْفَاتِحَة
إِلَى كَافَّةِ عِبَادِ اللهِ الصّالِحِينَ وَالْوَالِدِيْنِ وَجَمِيْعِ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ أَنْ اللهَ يَغْفِرُ لَهُمْ وَيَرْحَمُهُمْ وَيَنْفَعُنَا بَأَسْرَارِهِمْ وبَرَكَاتِهِمْ
31. (ويدعو القارئ):
اَلْحَمْدُ اللهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ حَمْدًا يُوَافِي نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَه، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وأَهْلِ بَيْتِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ بِحَقِّ الْفَتِحَةِ الْمُعَظَّمَةِ وَالسَّبْعِ الْمَثَانِيْ أَنْ تَفْتَحْ لَنَا بِكُلِّ خَيْر، وَأَنْ تَتَفَضَّلَ عَلَيْنَا بِكُلِّ خَيْر، وَأَنْ تَجْعَلْنَا مِنْ أَهْلِ الْخَيْر، وَأَنْ تُعَامِلُنَا يَا مَوْلاَنَا مُعَامَلَتَكَ لأَهْلِ الْخَيْر، وَأَنْ تَحْفَظَنَا فِي أَدْيَانِنَا وَأَنْفُسِنَا وَأَوْلاَدِنَا وَأَصْحَابِنَا وَأَحْبَابِنَا مِنْ كُلِّ مِحْنَةٍ وَبُؤْسٍ وَضِيْر إِنَّكَ وَلِيٌّ كُلِّ خَيْر وَمُتَفَضَّلٌ بِكُلِّ خَيْر وَمُعْطٍ لِكُلِّ خَيْر يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْن.
32. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْـأَلُكَ رِضَـاكَ وَالْجَنَّـةَ وَنَـعُوْذُ بِكَ مِنْ سَـخَطِكَ وَالنَّـارِ. (X3)

Minggu, 28 Oktober 2012


SHOLAWAT SUNTHON

Ada seorang Sulthon (Raja) yang bernama Sulthon Mahmud Al Ghaznawi. Sepanjang hidupnya Raja ini selalu menyibukkan dirinya dengan membaca shalawat kepada nabi Muhammad SAW. Setiap selesai shalat subuh, sang raja membaca shalawat sebanyak 300.000 kali. Begitu asyiknya raja membaca shalawat sebanyak itu, seolah-olah beliau lupa akan tugasnya sebagai seorang raja, yang di pundaknya tertumpu berbagai tugas negara dan berbagai macam harapan rakyatnya yang bergantung padanya. Sehingga kalau pagi tiba, sudah banyak rakyatnya yang berkumpul di istana menunggu sang raja, untuk mengadukan persoalannya.

Namun sang raja yang ditunggu-tunggu tidak kunjung hadir. Sebab sang raja tidak akan keluar dari kamarnya, walau hari telah siang, jika belum menyelesaikan wirid shalawatnya. Setelah kejadian ini berlangsung agak lama, pada suatu malam beliau bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW.
Di dalam mimpinya, Rasulullah SAW bertanya, “Mengapa kamu berlama-lama di dalam kamar? Sedangkan rakyatmu selalu menunggu kehadiranmu untuk mengadukan berbagai persoalan mereka.” Raja menjawab, “Saya duduk berlama-lama begitu, tak lain karena saya membaca shalawat kepadamu sebanyak 300.000 kali, dan saya berjanji tidak akan keluar kamar sebelum bacaan shalawat saya selesai.”
Rasulullah SAW lalu berkata, “Kalau begitu kasihan orang-orang yang punya keperluan dan orang-orang lemah yang memerlukan perhatianmu. Sekarang aku akan ajarkan kepadamu shalawat yang apabila kamu baca sekali saja, maka nilai pahalanya sama dengan bacaan 100.000 kali shalawat. Jadi kalau kamu baca tiga kali, pahalanya sama dengan 300.000 kali shalawat yang kamu baca.” Rasulullah SAW lalu membacakan lafazh shalawat yang kemudian dikenal dengan nama shalawat sulthon.
Akhirnya, raja Mahmud lalu mengikuti anjuran Rasulullah SAW tersebut, yaitu membaca shalawat tadi sebanyak tiga kali. Dengan cara demikian,shalawat dapat beliau baca dan urusan negara dapat dijalankan dengan sempurna.
Setelah beberapa waktu mengamalkan shalawat itu, raja kembali bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Apa yang kamu lakukan, sehingga malaikat kewalahan menuliskan pahala amalmu?” Raja menjawab, “Saya tidak mengamalkan sesuatu, kecuali mengamalkan shalawat yang anda ajarkan kepada saya itu.”
inilah Solawatnya
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ رَحْمَةِ الله
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ فَضْلِ اللهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّد بِعَدَدِ خَلْقِ اللهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ مَا فِى عِلْمِ اللهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ كَرَمِ اللهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ حُرُوْفِ كَلاَمِ اللهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ كَلِمَاتِ اللهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ قَطْرِ اْلاَمْطَارِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ وَرَقِ اْلاَشْجَارِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ رَمْلِ اْلقِفَارِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ اْلحُبُوبِ وَ اْلثِمَارِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ مَا اَظْلَمَ عَلَيْهِ اللَّيْلِ وَ اَشْرَقَ عَلَيْهِ النَّهَارِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ مَنْ صَلَّ عَلَيْهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ مَنْ لَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ اَنْفَاسِ اْلخَلْقِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ لُجُُوْمِ السَمَوَاتَََِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّد بِعَدَدِ كُلٍَّ شَىْءٍ فِى الدُّنْيَا وَاْلاَخِرَةِ
وَصَلَوَاتُ اللهِ وَ مَلاَءِكَتَهُ وَ اَنْبِيَاءِهِ وَ رُسُلِهِ وَ جَمِيْعِ خَلْقِهِ عَلَى سَيِّدِ اْلمُرْسَلِيْنَ وَ اِمَامِ اْلمُتَّقِيْنَ
وَ قَاءِدِ غُرِّ اْلمُحَجِّلِيْنَ وَ شَفِيْعِ اْلمُذْنِبِيْنَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ اصْحَابِهِ وَ اَزْوَاجِهِ
وَ ذُرِّيَتِهِ وَ اَهْلِ بَيْتِهِ وَ اْلاَءِمَّةِ اْلمَضِيِّيْنَ وَ اْلمَشَاءِخِ اْلمُتَقَدِّمِيْنَ وَ الشُّهَدَاءِ وَ الصَّالِحِيْنَ
وَ اَهْلِ طَاعَتِكَ اَجْمَعِيْنَ مِنْ اَهْلِ السَّمَوَاتِ وَ اْلاَرَضِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ
وَ يَا اَكْرَمَ اْلاَكْرَمِيْنَ وَ اْلحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ وَ صَلَّ اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلِّمْ
“Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah rahmatnya Allah. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah keutamaan dari Allah. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah ciptaan Allah. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah apa-apa yang ada dalam pengetahuan Allah. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah kemuliaan dari Allah. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah huruf Kalamullah (Kitab-Kitab Allah). Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah kalimat Allah. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak tetesan air hujan. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah daun-daun pepohonan. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah butir pasir di gurun. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah biji-bijian dan buah-buahan. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah yang dinaungi kegelapan malam dan diterangi oleh benderang siang. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah orang yang telah bershalawat kepadanya. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah orang yang belum bershalawat kepadanya. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah napas-napas makhluk ciptaan. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah apa yang ada di seluruh langit. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah tiap-tiap sesuatu yang ada di dalam dunia dan akhirat. Dan segenap shalawat dari Allah beserta para malaikat-Nya, dan para Nabi-Nya, dan para Rasul-Nya, dan seluruh ciptaan-Nya, semoga tercurah atas junjungan para Rasul, pemimpin orang-orang yang bertaqwa, pemuka para ahli surga, pemberi syafa’at orang-orang yang berdosa, Nabi Muhammad dan juga atas keluarganya, para sahabatnya, istri-istrinya, keturunannya, ahli baitnya, para pemimpin yang telah lampau, para guru yang terdahulu, para syuhada dan orang-orang soleh, dan yang senantiasa taat kepada Allah seluruhnya, dari penghuni bumi dan langit, dengan rahmat-Mu, wahai yang Maha Pengasih dan Penyayang, dan Engkau Yang Maha Mulia dari semua yang mulia, segala pujian bagi Allah Tuhan alam semesta. Dan shalawat serta salam atas Nabi Muhammad beserta keluarga dan sahabatnya.”
bismillahirrahmanirrahim.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi rahmatillah.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi fadhlillah
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi kholqillah.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi maa fi ilmillah.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi karomillah.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi hurufi kalamillah.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi kalimatillah.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi qothril amthor.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi waroqil asy,jar.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi romlil qifar.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi hububi wa tsimar.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi maa adhlama alaihil lail w asyroq alaihin nahar.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi man shola alaih
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi man lam yusholli alaih.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi anfasil kholq.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi nujumis samaawat.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi kulli saiy,in fid duny wal akhirah.
sholawatullahi wa malaikatihi wa anbiyaihi wa rusulhi wa jami’i kholqihi ala sayyisil mursalim wa imamil muttaqin wa qoidil ghuril muhajjalin wa syafi’il mudznibiin sayyiina Muhammadin wa alaa alihi wa shaabihi wa azwajihi wa dzurriyatihi wa ahli baitihi wal a,immatil maadhiyyin wa masyaikhil mutaqoddimin wa shuhada’i was sholihin wa ahli thoatika ajmain min ahli samaawati wal ardhiyn bi rohmatika ya arhamarrohimin wa yaa akromal akromin walhamdulillahi robbil alamain wa sholla ALLAHu ala sayyidina Muhamadin wa alaa alahih wa shohbihi wa sallam..