Minggu, 23 Desember 2012

Nabi juga Memperingati Maulid


Imam Muslim dalam Shahih-nya (2/819) meriwayatkan dari Abu Qatadah bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang puasa hari Senin, beliau menjawab, "Itu adalah hari aku dilahirkan dan hari turunnya wahyu kepadaku."
Pada abad ke-14 H, muncul sekelompok orang yang mengharamkan ziarah kubur, termasuk kubur Nabi SAW, melarang bertawassul dengan nabi-nabi dan orang-orang shalih, melarang membaca doa bersama-sama setelah shalat fardhu, termasuk melarang peringatan Maulid Nabi SAW.


Mereka menyebut peringatan Maulid sebagai bid’ah yang sesat. Bahkan sebagian mereka menyatakan, peringatan Maulid adalah perbuatan syirik, dan pelakunya adalah musyrik.

Tidak tertutup kemungkinan, karena ketidaktahuan umat, hingga kini masih ada di antara mereka yang juga bersikap demikian. Yang sering terucap di antara mereka adalah bahwa peringatan Maulid itu bid’ah, dan karena bid’ah hukumnya sesat.

Bahasa adalah fenomena. Dan, sebagai sebuah fenomena, barangkali memang sulit bagi kita untuk membendungnya. Demikian pula fenomena penggunaan kata “bid’ah” dalam masyarakat kita. Tanpa konteks tertentu, kata itu mungkin berkonotasi “haram”, “sesat”, “terlarang”, dan sebagainya. Tapi, apakah semua bid’ah itu haram?

Tidak! Para ulama membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah, bid’ah yang baik, dan bid’ah qabihah, bid’ah yang tercela.

Bid’ah hasanah adalah perbuatan-perbuatan yang belum dikenal pada masa Nabi SAW namun tidak bertentangan dengan Al-Quran dan as-sunnah. Contohnya, menghimpun Al-Quran ke dalam sebuah mushhaf, mengumpulkan orang-orang untuk mengerjakan shalat Tarawih berjama’ah.

Lalu bagaimana dengan sabda Rasulullah SAW “Setiap hal yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”?

Untuk menjawab itu, kita juga mesti menyimak sabda Rasulullah SAW yang lain, “Siapa yang membuat bid’ah sesat, yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya, atasnya dosa orang yang mengamalkannya, tanpa sedikit pun mengurangi dosa-dosa mereka.” Dari bagian kalimat “bid’ah sesat, yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya”, bisa dimaknai bahwa ada bid’ah lain, yang diridhai Allah dan Rasul-Nya, yakni bid’ah hasanah.

Jadi, yang dimaksud dengan hal baru dalam hadits “Setiap hal yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat” adalah hal-hal baru yang bathil, yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan perayaan Maulid jelas adalah bid’ah hasanah.

Di samping dalil tentang bid’ah itu, masih ada dalil-dalil lain yang sangat kuat ihwal disyari’atkannya Maulid:

•    Perintah mengagungkan hari dan tempat kelahiran beberapa nabi dalam Al-Quran dan sunnah.
•    Kisah Abu Lahab yang memerdekakan budaknya, Tsuwaibah Al-Aslamiyyah, karena gembira dengan kelahiran Nabi SAW.
• Peringatan yang dilakukan oleh Nabi SAW di hari kelahirannya dengan melakukan puasa pada hari Senin.
• Hadits shahih yang berasal dari Nabi SAW tentang puasa hari Asyura.
• Nabi SAW melakukan aqiqah bagi dirinya setelah diutus menjadi nabi.
• Perintah memuliakan hari Jum`at karena sebab diciptakannya Nabi Adam AS di hari itu.
• Penyebutan Allah SWT tentang kisah para nabi dalam Al-Quran, di antaranya kisah kelahiran Nabi Yahya AS, Maryam, dan Nabi Isa AS.
• Maulid sebagai perantara untuk melakukan berbagai perbuatan taat.
• Firman Allah SWT, “Katakanlah (Muhammad), ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” – QS Yunus (10): 58.
• Perayaan Maulid bukanlah ibadah tawqifiyah, ibadah yang pasti dan sudah jelas mutlak dalilnya, melainkan taqarrub yang mubah.
Kaidah ushul fiqh anna ma dakhalah al-ihtimal saqath al-istidlal, segala sesuatu yang mengandung kemungkinan tidak dapat dijadikan dalil.
Nafy al-`ilm la yulzam minh nafy al-wujud, ketidaktahuan tidak melazimkan ketidakadaan sesuatu.

Sumber: http://www.majalah-alkisah.com/index.php/dunia-islam/795-nabi-pun-memperingati-maulid

Senin, 10 Desember 2012

Abu Nawas dan Syair Ilahilas

Ilahi, lastu lilfirdausi ahla. Wala aqwa ‘ala naril jahimi, Fahab li tawbatan waghfir dzunubi. Fainaka ghafirud dzanbil adzimi

Tuhanku, Hamba tidaklah pantas menjadi penghuni surga (Firdaus).
Namun, hamba juga tidak kuat menahan panas api neraka.
Maka berilah hamba tobat dan ampunilah hamba atas dosa-dosa hamba.
Karena sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Mahaagung

Dua bait syair di atas tentu sudah sangat akrab di telinga masyarakat Indonesia terutama kaum tradisionalis Islam. Beberapa saat menjelang shalat Magrib atau Subuh, jemaah di masjid-masjid atau musala di pedesaan biasanya mendendangkan syair tersebut dengan syahdu sebagai puji-pujian. Konon, kedua bait tersebut adalah hasil karya tokoh kocak Abu Nawas. Ia adalah salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik. Abu Nawas juga muncul beberapa kali dalam kisah 1001 Malam.
Bagi masyarakat Islam Indonesia, nama Abu Nawas atau Abu Nuwas juga bukan lagi sesuatu yang asing. Abu Nawas dikenal terutama karena kelihaian dan kecerdikannya melontarkan kritik-kritik tetapi dibungkus humor. Mirip dengan Nasrudin Hoja, sesungguhnya ia adalah tokoh sufi, filsuf, sekaligus penyair. Ia hidup di zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad (806-814 M).



Selain cerdik, Abu Nawas juga dikenal dengan kenyentrikkannya. Sebagai penyair, mula-mula ia suka mabuk. Belakangan, dalam perjalanan spiritualnya mencari hakikat Allah dan kehidupan sejati, ia menemukan kehidupan rohaniahnya yang sejati meski penuh liku dan sangat mengharukan. Setelah mencapai tingkat spiritual yang cukup tinggi, inspirasi puisinya bukan lagi khamar, melainkan nilai-nilai ketuhanan. Ia tampil sebagai penyair sufi yang tiada banding.

Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.

Masa mudanya penuh perilaku kontroversial yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, di samping cita rasa kemanusiaan dan keadilan. Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran kepada Ya’qub al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, dan Azhar bin Sa’ad as-Samman. Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.

Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.

Dalam Al-Wasith fil Adabil ‘Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (sya’irul bilad).

Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.
Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah. Dua bait syair di atas merupakan salah satu syairnya yang dapat dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa spiritual yang dalam.
Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan – tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.

Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.
Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti - yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.

Sejumlah puisi Abu Nawas dihimpun dalam Diwan Abu Nuwas yang telah dicetak dalam berbagai bahasa. Ada yang diterbitkan di Wina, Austria (1885), di Greifswald (1861), di Kairo, Mesir (1277 H/1860 M), Beirut, Lebanon (1301 H/1884 M), Bombay, India (1312 H/1894 M). Beberapa manuskrip puisinya tersimpan di perpustakaan Berlin, Wina, Leiden, Bodliana, dan Mosul.
Salah satu cerita menarik berkenaan dengan Abu Nawas adalah saat menejelang sakaratulmautnya. Konon, sebelum mati ia minta keluarganya mengkafaninya dengan kain bekas yang lusuh. Agar kelak jika Malaikat Munkar dan Nakir datang ke kuburnya, Abu Nawas dapat menolak dan mengatakan. “Tuhan, kedua malaikat itu tidak melihat kain kafan saya yang sudah compang-camping dan lapuk ini. Itu artinya saya penghuni kubur yang sudah lama.”
Tentu ini hanyalah sebuah lelucon, dan memang kita selama ini hanya menyelami misteri kehidupan dan perjalanan tohoh sufi yang penuh liku dan sarat hikmah ini dalam lelucon dan tawa.

Rabu, 28 November 2012


Macam'' Sholawat dan Penjelasan Ringkas






Artinya: "Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Say-yidina Muhammad yang telah Engkau penuhi hatinya dengan keagungan-Mu, dan telah Engkau penuhi matanya dengan sifat keindahan-Mu, sehingga ia menjadi senang-gembira, terbantu dan tertolong; juga kepada keluarganya dan para sahabatnya. Limpahkanlah pula kesejahteraan yang banyak kepada mereka semuanya. Segala puji bagi Allah atas semua itu."

Penjelasan:
Abû 'Abdullah Al-Nu'mân pernah bermimpi melihat Nabi Saw., lalu ia bertanya, "Ya Rasulullah, shalawat manakah yang paling utama?
Beliau menjawab, "Katakanlah...(lalu Baginda Nabi menyebutkan shalawat ini)."
Ada lagi cerita lainnya tentang shalawat ini, seperti yang disebutkan di dalam kitab Dalâ'il al-Khayrât.


 
Artinya: "Ya Allah, aku memohon kepada-Mu,semoga Engkau melimpahkan shalawat kepada Sayyidina Muham-mad, kepada seluruh nabi dan rasul, serta kepada keluarga dan sahabat mereka semuanya; serta semoga Engkau mengampuni dosa-dosaku yang telah lalu dan Engkau memelihara diriku dari dosa- dosa yang tersisa."

Penjelasan:
Shalawat ini berasal dari Sayyid Ibrâhîm Al-Matbulî






Artinya: "Ya Allah, limpahkanlah shalawat, salam, dan berkah kepada Sayyidina Muhammad, yang pemaaf dan penyayang,. serta yang mempunyai akhlak yang agung; juga kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan isteri-isterinya di setiap saat sebanyak jumlah semua yang baru dan yang lama."

Penjelasan:
Shalawat ini lebih dikenal dengan sebutan shalawat Al-Ra'ûf al-Rahîm. Sayyid Ahmad Al-Shâwî mengatakan, "Shalawat ini termasuk sighat shalawat yang paling mulia. Oleh karena itu, seyogyanya diperbanyak membacanva."






Artinya: "Ya Allah, limpahkanlah shalawat, salam, dan berkah kepada Sayyidina Muhamad dan kepada ke-luarganya, sebanyak jumlah nikmat Allah dan karunia-Nya."

Penjelasan:
Shalawat di atas lebih dikenal dengan sebutan shalawat Al-In'âm. Khasiatnya adalah seperti yang dikatakan oleh Sayyid Ahmad Al-Shâwî, yakni membuka pintu kenik-matan dunia dan akhirat bagi pembacanya, sementara pahalanya tidak terhingga.






Artinya: "Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada cahaya yang berkilau, bulan yang memancar, purnama yang naik, hujan yang melimpah, pertolongan yang luas, kekasih yang menolong, Nabi yang membuat undang-undang, Rasul yang menjelaskan, orang yang diperintah yang taat, kawan bicara yang mendengarkan, pedang yang tajam, hati yang khusyuk, mata yang mengucurkan airmata, yakni Sayyidina Muhammad; juga kepada keluarganya dan anak-anaknya yang mulia; kepada sahabat-sahabatnya yang agung; serta kepada para pengikutnya diantara ahli sunnah dan Islam."






Artinya: "Ya Allah limpahkanlah shalawat dan salam, kepada Sayyidina Muhammad, shalawat yang dengannya dituliskan garis-garis, dilapangkan dada, serta dimudahkan segala urusan, berkat rahmat dari-Mu, duhai Tuhan Yang Maha Pengampun, serta kepada keluarga dan para sahabatnya."






Artinya: "Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam kepada Sayyidina Muuhammad dan orang-orang yang menolongnya, sebanyak jumlah apa yang Engkau ketahui dari permulaan urusan sampai akhirnya, serta kepada keluarga dan Sahabat-sahabatnya."

Penjelasan:
Shalawat ini dan dua shalawat sebelumnya (no. 67 dan 68) bersumber dari Sayyid Ahmad Al-Rifâ'i ra. dan termasuk shalawat Al-Jawâmi' al-Kawâmil (kumpulan kesempurnaan).
Dikatakan bahwa, barangsiapa yang membacanya (yang mana saja dari ketiganya) sesudah salat shubuh atas niat dan keinginan apa saja, niscaya akan diperolehnya dengan izin Allah.




Artinya: "Ya Allah, dengan-Mu aku bertawassul, dari-Mu aku meminta, kepada-Mu dan karena-Mu dan karena-Mu-bukan karena sesuatu Diri-Mu aku rindu. Aku tidak meminta dari-Mu selain Diri-Mu dan tidak meminta dari-Mu kecuali kepada-Mu.
Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dalam perkenan itu dengan wasilah, yang teragung dan keutamaan yang ter-besar; yakni Sayyidina Muhammad, manusia pilihan, orang yang suci dan diridhai, serta Nabi pilihan. Dengannya aku memohon kepada-Mu agar Engkau memberikan shalawat kepadanya dengan shalawat yang bersifat abadi, lestari, dan mandiri; serta bersifat Ilahiyah dan Rabbaniyah, dimana ia menyaksikan bagiku hal itu di dalam mata ke-sempurnaanya dengan kesaksiannya makrifat terhadapanya; juga kepada keluarganya dan para saha-batnya. Sebab, Engkaulah penolong atas itu. Tiada upaya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. "






Artinya: "Ya Allah limpahkanlah shalawat atas Ahmad, utusan-Mu. Aku memohon kepada-Nya, ya Allah, dengannya, dan dengannya aku memohon kepada-Mu; agar Engkau melimpahkan shalawat kepadanya; dengan shalawat yang hakiki, untuk mengkhususkan dengannya, yang umum dalam seluruh kesatuan huruf dan nama serta dalam seluruh tingkatan akal dan ilmu; dengan shalawat yang berkesinambungan, yang tidak mungkin dipisahkan dengan cara dicoba atau sara lainnya, bahkan mustahil secara akal maupun naqli; juga kepada keluarga dan para sahabatnya. Limpahkanlah pula kesejahteraan yang banyak kepadanya."

Penjelasan
Shalawat ini dan shalawat sebelumnya berasal dari sumber yang sama yaitu, dari 'Arif Rabbanî, Sayyid Muhammad Wafâ' Al-Syadzili r.a., yang saya nukil dari kitab Masâliku al-Hunafâ'.







Artinya: "Ya Allah, limpahkanlah Shalawat, Salam, dan berkah, kepada orang yang karenanya seluruh alam menjadi mulia; limpahkanlah shalawat, salam, dan berkah kepada Sayyidina Muhammmad yang Engkau tampakkan dengannya petunjuk kebajikan, limpahkanlah shalawat, salam dan berkah kepada Sayyidina Muhammad yang telah menjelaskan bagian terkecil dari Al-Quran, limpahkanlah Shalawat, salam, dan berkah kepada Sayyidina Muhammad, pemimpin orang-orang terkemuka dan penyebab keberadaan setiap manusia, dan limpahkanlah shalawat, salam, dan berkah kepada Sayyidina Muhammad yang membangun tiang-tiang syariat bagi alam manusia dan jin, yang menjelaskan perilaku tarekat bagi orang-orang yang bertanya, dan yang merumuskan ilmu-ilmu hakikat bagi orang-orang arif
Limpahkanlah ya Allah, shalawat, salam, dan berkah kepadanya dengan shalawat yang sesuai dengan kedu-dukannya yang mulia dan derajatnya yang tinggi. Lim-pahkanlah kesejahteraan yang banyak dan selalu. Ya Allah, ya Rahman, ya Rahim.
Ya Allah, limpahkanlah shalawat, salam, dan berkah kepada Sayyidina Muhammad yang telah menghiasi mah-ligai hati, menampakkan rahasia yang gaib, dan pintu semua yang dipinta. Limpahkanlah ya Allah, shalawat dan salam kepadanya selama matahari menyinari alam Lim-pahkanlah shalawat, salam, dan berkah kepada orang yang telah mengucapkan kepada kami dengan ban-tuannya, kedermawanan. Ya Allah, ya Rahman, ya Rahim.
Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Sayyidina Muhammad, dengan shalawat yang mendekatkan orang-orang jauh diantara kami ke hadirat Rabbaniyah, dan membawa orang-orang yang dekat dari kami ke maqam ilahiah yang tidak berujung. Limpahkanlah ya Allah, sha-lawat kepadanya dengan shalawat yang melapangkan dada, memudahkan urusan, dan menyingkap tabir, serta limpahkanlah pula kesejahteraan yang banyak, sampai Hari Kiamat. Amin."

Penjelasan
Shalawat di atas adalah yang dipakai oleh Sayyid Mushtafa Al-Bakrî dl saat mengakhiri wirid-nya yang dikenal dengan Wird al-Sikhr.






Artinya: "Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas Sayyidina Muhammad dengan semua shalawat yang Engkau sukai baginya, dan dalam setiap waktu yang Engkau sukai atasnya.
Ya Allah, limpahkanlah kesejahteraan kepada Sayyidina Muhammad dengan semua kesejahteraan yang Engkau sukai baginya, dan dalam setiap waktu yang Engkau sukai atasnya, Shalawat dan salam semoga selalu (tercurah) menurut keabadian-Mu, sebanyak jumlah yang Engkau ketahui, setimbang dengan apa yang Engkau ketahui, se-penuh apa yang Engkau ketahui, dan sebanyak tinta ka-limat-Mu, serta berlipat-lipat ganda dari itu.
Ya Allah, bagi-Mu-lah pujian dan syukur sebanyak itu pula, atas semua itu dan di dalam semua itu; juga kepada ke-luarganya, sahabat-sahabatnya dan saudara-saudaranya."

Penjelasan
Shalawat ini berasal dari Sayyid Murtadhâ Al-Zubaydi.







Artinya: "Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam kepada Sayyidina Muhammad, dengan shalawat yang menjadi pintu yang disaksikan bagi kami di sisi Allah, dan yang menjadi tirai yang tertutup di sisi musuh-musuhnya juga kepada keluarga dan para sahabatnya."






Artinya: "Ya Allah, aku memohon dengan asma-Mu yang agung yang tertulis dari cahaya Wajah-Mu yang Maha-tinggi dan Mahabesar; yang kekal dan abadi, di dalam kalbu Rasul dan Nabi-Mu, Muhammad; aku memohon dengan asma-Mu yang agung dan tunggal dengan kesatuan yang manuggal, yang Maha Agung dari kesatuan jumlah, dan yang Maha Suci dari setiap sesuatu -dan dengan hak Bismillâhirrahmânirrahîmi, Qul Huwallâhu ahad, Allâhu al-Shamad, lam Yalid walam Yûlad, walam Yakun lahu Kufwân Ahad, semoga Engkau melimpahkan shalawat kepada junjungan kami, Muhammad, rahasia kehidupan yang ada, sebab terbesar bagi yang ada, dengan shalawat yang menetapkan iman dalam hatiku, dan mendorongku agar menghafalkan Al-Quran, memberikan pemahaman bagiku dari ayat-ayatnya, mem-bukakan bagiku dengannya cahaya surga dan cahaya nikmat, serta cahaya pandangan kepada wajah-Mu yang mulia, juga kepada keluarga dan para sahabatnya. Limpahkan pula salam sejahtera kepadanya."

Penjelasan:
Shalawat ini dan yang sebelumnya (no.74) adalah berasal dari Al-'Arif Billâh Sayyid Taqiyyuddin Al-Hanbalî.
 
 
Sumber : 
http://pustaka.abatasa.com/pustaka/detail/shalawat/allsub/183/lafadz-lafadz-shalawat-dan-penjelasannya-3.html

 

Minggu, 18 November 2012

Ratib al-Haddad dan Sejarahnya

Ratib Al-Haddad ini mengambil nama dari nama penyusunnya, yaitu Imam Abdullah bin Alawi Al-Haddad, seorang pembaharu Islam (mujaddid) yang terkenal. Daripada doa-doa dan zikir-zikir karangan beliau, Ratib Al-Haddad lah yang paling terkenal dan masyhur. Ratib yang bergelar Al-Ratib Al-Syahir (Ratib Yang Termasyhur) disusun berdasarkan inspirasi, pada malam Lailatul Qadar 27 Ramadhan 1071 Hijriyah (bersamaan 26 Mei 1661).
Ratib ini disusun bagi menunaikan permintaan salah seorang murid beliau, ‘Amir dari keluarga Bani Sa’d yang tinggal di sebuah kampung di Shibam, Hadhramaut. Tujuan ‘Amir membuat permintaan tersebut ialah untuk membentengi dengan suatu wirid dan zikir untuk amalan penduduk kampungnya agar mereka dapat mempertahan dan menyelamatkan diri daripada ajaran sesat yang sedang melanda Hadhramaut ketika itu.
Pertama kalinya Ratib ini dibaca ialah di kampung ‘Amir sendiri, yaitu di kota Shibam setelah mendapat izin dan ijazah daripada Al-Imam Abdullah Al-Haddad sendiri. Selepas itu Ratib ini dibaca di Mesjid Al-Imam Al-Haddad di Al-Hawi, Tarim dalam tahun 1072 Hijriah bersamaan tahun 1661 Masehi. Pada kebiasaannya ratib ini dibaca berjamaah bersama doa dan nafalnya, setelah solat Isya’. Pada bulan Ramadhan ia dibaca sebelum solat Isya’ bagi mengelakkan kesempitan waktu untuk menunaikan solat Tarawih. Mengikut Imam Al-Haddad di kawasan-kawasan di mana Ratib al-Haddad ini diamalkan, dengan izin Allah kawasan-kawasan tersebut selamat dipertahankan daripada pengaruh sesat tersebut.
Apabila Imam Al-Haddad berangkat menunaikan ibadah Haji, Ratib Al-Haddad pun mula dibaca di Makkah dan Madinah. Sehingga hari ini Ratib berkenaan dibaca setiap malam di Bab al-Safa di Makkah dan Bab al-Rahmah di Madinah. Habib Ahmad bin Zein Al-Habsyi pernah menyatakan bahawa sesiapa yang membaca Ratib Al-Haddad dengan penuh keyakinan dan iman dengan terus membaca “ La ilaha illallah” hingga seratus kali (walaupun pada kebiasaannya dibaca lima puluh kali), ia mungkin dikurniakan dengan pengalaman yang di luar dugaannya.
Beberapa perbedaan boleh didapati di dalam beberapa cetakan ratib Haddad ini terutama selepas Fatihah yang terakhir. Beberapa doa ditambah oleh pembacanya. Al Marhum Al-Habib Ahmad Masyhur bin Taha Al-Haddad memberi ijazah untuk membaca Ratib ini dan menyarankannya dibaca pada masa–masa yang lain daripada yang tersebut di atas juga di masa keperluan dan kesulitan. Mudah-mudahan barangsiapa yang membaca ratib ini diselamatkan Allah daripada bahaya dan kesusahan. Amin.
Ketahuilah bahawa setiap ayat, doa, dan nama Allah yang disebutkan di dalam ratib ini telah dipetik daripada Al-Quran dan hadith Rasulullah S.A.W. Terjemahan yang dibuat di dalam ratib ini, adalah secara ringkas. Bilangan bacaan setiap doa dibuat sebanyak tiga kali, kerana ia adalah bilangan ganjil (witir). Ini ialah berdasarkan saranan Imam Al-Haddad sendiri. Beliau menyusun zikir-zikir yang pendek yang dibaca berulang kali, dan dengan itu memudahkan pembacanya. Zikir yang pendek ini, jika dibuat selalu secara istiqamah, adalah lebih baik daripada zikir panjang yang dibuat secara berkala atau cuai[1]. Ratib ini berbeza daripada ratib-ratib yang lain susunan Imam Al-Haddad kerana ratib Al-Haddad ini disusun untuk dibaca lazimnya oleh kumpulan atau jamaah. Semoga usaha kami ini diberkahi Allah.
Keutamaan Ratib Hadad. (1)
Cerita-cerita yang dikumpulkan mengenai kelebihan RatibAl-Haddad banyak tercatat dalam buku Syarah Ratib Al-Haddad, antaranya: Telah berkata Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Jufri yang bertempat tinggal di Seiwun (Hadhramaut): “Pada suatu masa kami serombongan sedang menuju ke Makkah untuk menunaikan Haji, bahtera kami terkandas tidak dapat meneruskan perjalanannya kerana tidak ada angin yang menolaknya. Maka kami berlabuh di sebuah pantai, lalu kami isikan gerbah-gerbah (tempat isi air terbuat dari kulit) kami dengan air, dan kami pun berangkat berjalan kaki siang dan malam, kerana kami bimbang akan ketinggalan Haji. Di suatu perhentian, kami cuba meminum air dalam gerbah itu dan kami dapati airnya payau dan masin, lalu kami buangkan air itu. Kami duduk tidak tahu apa yang mesti hendak dibuat. Maka saya anjurkan rombongan kami itu untuk membaca Ratib Haddad ini, mudah-mudahan Allah akan memberikan kelapangan dari perkara yang kami hadapi itu. Belum sempat kami habis membacanya, tiba-tiba kami lihat dari kejauhan sekumpulan orang yang sedang menunggang unta menuju ke tempat kami, kami bergembira sekali. Tetapi ketika mereka mendekati kami, kami dapati mereka itu perompak-perompak yang kerap merampas harta-benda orang yang lalu-lalang di situ. Namun rupanya Allah Ta’ala telah melembutkan hati mereka bila mereka dapati kami terkandas di situ, lalu mereka memberi kami minum dan mengajak kami menunggang unta mereka untuk disampaikan kami ke tempat sekumpulan kaum Syarif* tanpa diganggu kami sama sekali, dan dari situ kami pun berangkat lagi menuju ke Haji, syukurlah atas bantuan Alloh SWT karena berkat membaca Ratib ini.
Cerita ini pula diberitakan oleh seorang yang mencintai keturunan Sayyid, katanya: “Sekali peristiwa saya berangkat dari negeri Ahsa’i menuju ke Hufuf. Di perjalanan itu saya terlihat kaum Badwi yang biasanya merampas hak orang yang melintasi perjalanan itu. Saya pun berhenti dan duduk, di mana tempat itu pula saya gariskan tanahnya mengelilingiku dan saya duduk di tengah-tengahnya membaca Ratib ini. Dengan kuasa Alloh mereka telah berlalu di hadapanku seperti orang yang tidak menampakku, sedang aku memandang mereka.” Begitu juga pernah berlaku semacam itu kepada seorang alim yang mulia, namanya Hasan bin Harun ketika dia keluar bersama-sama teman-temannya dari negerinya di sudut Oman menuju ke Hadhramaut. Di perjalanan mereka dibajak oleh gerombolan perompak, maka dia menyuruh orang-orang yang bersama-samanya membaca Ratib ini. Alhamdulillah, gerombolan perompak itu tidak mengapa-apakan siapapun, malah mereka berlalu dengan tidak mengganggu.
Apa yang diberitakan oleh seorang Arif Billah Abdul Wahid bin Subait Az-Zarafi, katanya: Ada seorang penguasa yang ganas yang dikenal dengan nama Tahmas yang juga dikenal dengan nama Nadir Syah. Tahmas ini adalah seorang penguasa ajam yang telah menguasai banyak dari negeri-negeri di sekitarannya. Dia telah menyediakan tentaranya untuk memerangi negeri Aughan. Sultan Aughan yang bernama Sulaiman mengutus orang kepada Imam Habib Abdullah Haddad memberitahunya, bahwa Tahmas sedang menyiapkan tentera untuk menyerangnya. Maka Habib Abdullah Haddad mengirim Ratib ini dan menyuruh Sultan Sulaiman dan rakyatnya membacanya. Sultan Sulaiman pun mengamalkan bacaan Ratib ini dan memerintahkan tenteranya dan sekalian rakyatnya untuk membaca Ratib i ini dengan bertitah: “Kita tidak akan dapat dikuasai Tahmas kerana kita ada benteng yang kuat, iaitu Ratib Haddad ini.” Benarlah apa yang dikatakan Sultan Sulaiman itu, bahwa negerinya terlepas dari penyerangan Tahmas dan terselamat dari angkara penguasa yang ganas itu dengan sebab berkat Ratib Haddad ini.
Saudara penulis Syarah Ratib Al-Haddad ini yang bernama Abdullah bin Ahmad juga pernah mengalami peristiwa yang sama, yaitu ketika dia berangkat dari negeri Syiher menuju ke bandar Syugrah dengan kapal, tiba-tiba angin macet tiada bertiup lagi, lalu kapal itu pun terkandas tidak bergerak lagi. Agak lama kami menunggu namun tidak berhasil juga. Maka saya mengajak rekan-rekan membaca Ratib ini , maka tidak berapa lama datang angin membawa kapal kami ke tujuannya dengan selamat dengan berkah membaca Ratib ini.
Suatu pengalaman lagi dari Sayyid Awadh Barakat Asy-Syathiri Ba’alawi ketika dia belayar dengan kapal, lalu kapal itu telah tersesat jalan sehingga membawanya terkandas di pinggir sebuah batu karang. Ketika itu angin juga macet tidak dapat menggerakkan kapal itu keluar dari bahayanya. Kami sekalian merasa bimbang, lalu kami membaca Ratib ini dengan niat Alloh akan menyelamatkan kami. Maka dengan kuasa Alloh SWT datanglah angin dan menarik kami keluar dari tempat itu menuju ke tempat tujuan kami. Maka kerana itu saya amalkan membaca Ratib ini. Pada suatu malam saya tertidur sebelum membacanya, lalu saya bermimpi Habib Abdullah Haddad datang mengingatkanku supaya membaca Ratib ini, dan saya pun tersadar dari tidur dan terus membaca Ratib Haddad itu.
Di antaranya lagi apa yang diceritakan oleh Syeikh Allamah Sufi murid Ahmad Asy-Syajjar, iaitu Muhammad bin Rumi Al-Hijazi, dia berkata: “Saya bermimpi seolah-olah saya berada di hadapan Habib Abdullah Haddad, penyusun Ratib ini. Tiba-tiba datang seorang lelaki memohon sesuatu daripada Habib Abdullah Haddad, maka dia telah memberiku semacam rantai dan sayapun memberikannya kepada orang itu. Pada hari besoknya, datang kepadaku seorang lelaki dan meminta daripadaku ijazah (kebenaran guru) untuk membaca Ratib Haddad ini, sebagaimana yang diijazahkan kepadaku oleh guruku Ahmad Asy-Syajjar. Aku pun memberitahu orang itu tentang mimpiku semalam, yakni ketika saya berada di majlis Habib Abdullah Haddad, lalu ada seorang yang datang kepadanya. Kalau begitu, kataku, engkaulah orang itu.” Dari kebiasaan Syeikh Al-Hijazi ini, dia selalu membaca Ratib Haddad ketika saat ketakutan baik di siang hari mahupun malamnya, dan memang jika dapat dibaca pada kedua-dua masa itulah yang paling utama, sebagaimana yang dipesan oleh penyusun Ratib ini sendiri. Ada seorang dari kota Quds (Syam) sesudah dihayatinya sendiri tentang banyak kelebihan membaca Ratib ini, dia lalu membuat suatu ruang di sudut rumahnya yang dinamakan Tempat Baca Ratib, di mana dikumpulkan orang untuk mengamalkan bacaan Ratib ini di situ pada waktu siang dan malam.
Di antaranya lagi, apa yang diberitakan oleh Sayyid Ali bin Hassan, penduduk Mirbath, katanya: “Sekali peristiwa aku tertidur sebelum aku membaca Ratib, aku lalu bermimpi datang kepadaku seorang Malaikat mengatakan kepadaku: “Setiap malam kami para Malaikat berkhidmat buatmu begini dan begitu dari bermacam-macam kebaikan, tetapi pada malam ini kami tidak membuat apa-apa pun karena engkau tidak membaca Ratib. Aku terus terjaga dari tidur lalu membaca Ratib Haddad itu dengan serta-merta.
Setengah kaum Sayyid bercerita tentang pengalamannya: “Jika aku tertidur ketika aku membaca Ratib sebelum aku menghabiskan bacaannya, aku bermimpi melihat berbagai-bagai hal yang mengherankan, tetapi jika sudah menghabiskan bacaannya, tidak bermimpi apa-apa pun.”
Di antara yang diberitakan lagi, bahawa seorang pecinta kaum Sayyid, Muhammad bin Ibrahim bin Muhammad Mughairiban yang tinggal di negeri Shai’ar, dia bercerita: “Dari adat kebiasaan Sidi Habib Zainul Abidin bin Ali bin Sidi Abdullah Haddad yang selalu aku berkhidmat kepadanya tidak pernah sekalipun meninggalkan bacaan Ratib ini. Tiba-tiba suatu malam kami tertidur pada awal waktu Isya’, kami tidak membaca Ratib dan tidak bersembahyang Isya’, semua orang termasuk Sidi Habib Zainul Abidin. Kami tidak sedarkan diri melainkan di waktu pagi, di mana kami dapati sebagian rumah kami terbakar.
Kini tahulah kami bahwa semua itu berlaku karena tidak membaca Ratib ini. Sebab itu kemudian kami tidak pernah meninggalkan bacaannya lagi, dan apabila sudah membacanya kami merasa tenteram, tiada sesuatupun yang akan membahayakan kami, dan kami tidak bimbang lagi terhadap rumah kami, meskipun ia terbuat dari dedaunan korma, dan bila kami tidak membacanya, hati kami tidak tenteram dan selalu kebimbangan.”
Berkata Habib Alwi bin Ahmad, penulis Syarah Ratib Al-Haddad: “Siapa yang melarang orang membaca Ratib ini dan juga wirid-wirid para salihin, niscaya dia akan ditimpa bencana yang berat daripada Allah Ta’ala, dan hal ini pernah berlaku dan bukan omong-omong kosong.” Berkata Sidi Habib Muhammad bin Zain bin Semait Ba’alawi di dalam kitabnya Ghayatul Qasd Wal Murad: Telah berkata Saiyidina Habib Abdullah Haddad: “Siapa yang menentang atau membangkang orang yang membaca Ratib kami ini dengan secara terang-terangan atau disembunyikan pembangkangannya itu akan mendapat bencana seperti yang ditimpa ke atas orang-orang yang membelakangi zikir dan wirid atau yang lalai hati mereka dari berzikir kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman: “Dan barangsiapa yang berpaling dari mengingatiKu, maka baginya akan ditakdirkan hidup yang sempit.” ( Thaha: 124 ) Allah berfirman lagi: “Dan barangsiapa yang berpaling dari mengingati Tuhan Pemurah, Kami balakan baginya syaitan yang diambilnya menjadi teman.”
( Az-Zukhruf: 36 ) Allah berfirman lagi: “Dan barangsiapa yang berpaling dari mengingat Tuhannya, Kami akan menurukannya kepada siksa yang menyesakkan nafas.” ( Al-Jin: 17)
(1) Dipetik dari: Syarah Ratib Haddad: Analisa Dan Komentar – karangan Syed Ahmad Smith, terbitan Pustaka Nasional Pte. Ltd.
الراتب الشهير
للحبيب عبد الله بن علوي الحداد
Ratib Al Haddad
Moga-moga Allah merahmatinya [Rahimahu Allahu Ta’ala]
يقول القارئ: الفَاتِحَة إِلَى حَضْرَةِ سَيِّدِنَا وَشَفِيعِنَا وَنَبِيِّنَا وَمَوْلانَا مُحَمَّد صلى الله عليه وسلم – الفاتحة-
1. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. اَلرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ. ماَلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ إِيِّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ. اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ. صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِّيْنَ. آمِيْنِ
2. اَللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّموَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَآءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ وَلاَ يَؤُدُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ العَلِيُّ العَظِيْمُ.
3. آمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَآ أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّه وَالْمُؤْمِنُوْنَ كُلٌّ آمَنَ بِاللهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْناَ وَأَطَعْناَ غُفْراَنَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيْرُ
.
4. لاََ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَآ إِنْ نَسِيْنَآ أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنآ أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْناَ عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.
5 لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ. (X3)

6. سٌبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اْللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ. (X3)
7.سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحاَنَ اللهِ الْعَظِيْمِ. (X3)
8. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ. (X3)
9.اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ. ( X3)
10. أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّآمَّاتِ مِنْ شَرِّمَا خَلَقَ. (X3)
11. بِسْـمِ اللهِ الَّذِي لاَ يَضُـرُّ مَعَ اسْـمِهِ شَيْءٌ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي الْسَّمَـآءِ وَهُوَ الْسَّمِيْـعُ الْعَلِيْـمُ. (X3)
12. رَضِيْنَـا بِاللهِ رَبًّا وَبِالإِسْـلاَمِ دِيْنـًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيّـًا. (X3)
13. بِسْمِ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَالْخَيْرُ وَالشَّـرُّ بِمَشِيْئَـةِ اللهِ. (X3)
14. آمَنَّا بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ تُبْناَ إِلَى اللهِ باَطِناً وَظَاهِرًا. (X3)
15. يَا رَبَّنَا وَاعْفُ عَنَّا وَامْحُ الَّذِيْ كَانَ مِنَّا. (X3)
16. ياَ ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْراَمِ أَمِتْناَ عَلَى دِيْنِ الإِسْلاَمِ. (X7)
17. ياَ قَوِيُّ ياَ مَتِيْـنُ إَكْفِ شَرَّ الظَّالِمِيْـنَ. (X3)
18. أَصْلَحَ اللهُ أُمُوْرَ الْمُسْلِمِيْنَ صَرَفَ اللهُ شَرَّ الْمُؤْذِيْنَ. (X3)
19. يـَا عَلِيُّ يـَا كَبِيْرُ يـَا عَلِيْمُ يـَا قَدِيْرُ
يـَا سَمِيعُ يـَا بَصِيْرُ يـَا لَطِيْفُ يـَا خَبِيْرُ. (X3)
20. ياَ فَارِجَ الهَمِّ يَا كَاشِفَ الغَّمِّ يَا مَنْ لِعَبْدِهِ يَغْفِرُ وَيَرْحَمُ. (X3)
21. أَسْتَغْفِرُ اللهَ رَبَّ الْبَرَايَا أَسْتَغْفِرُ اللهَ مِنَ الْخَطَاياَ.(X4)
22. لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. (X50)
23. مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ وَمَجَّدَ وَعَظَّمَ وَرَضِيَ اللهُ تَعاَلَى عَنْ آلِ وَأَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ، وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِ التَّابِعِيْنَ بِإِحْسَانٍ مِنْ يَوْمِنَا هَذَا إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَعَلَيْناَ مَعَهُمْ وَفِيْهِمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
24. بِسْم اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ.
قُلْ هُوَ اللهُ أَحَـدٌ. اَللهُ الصَّمَـدُ. لَمْ يَلِـدْ وَلَمْ يٌوْلَـدْ. وَلَمْ يَكُـنْ لَهُ كُفُـوًا أَحَـدٌ. (3X3)
25. بِسْم اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ، مِنْ شَرِّ ماَ خَلَقَ، وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ، وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ، وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَد
26. بِسْم اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ، مَلِكِ النَّاسِ، إِلَهِ النَّاسِ، مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ، اَلَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِي صُدُوْرِ النَّاسِ، مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ.
27. اَلْفَاتِحَةَ
إِلَى رُوحِ سَيِّدِنَا الْفَقِيْهِ الْمُقَدَّمِ مُحَمَّد بِن عَلِيّ باَ عَلَوِي وَأُصُولِهِمْ وَفُرُوعِهِمْ وَكفَّةِ سَادَاتِنَا آلِ أَبِي عَلَوِي أَنَّ اللهَ يُعْلِي دَرَجَاتِهِمْ فِي الْجَنَّةِ وَيَنْفَعُنَا بِهِمْ وَبِأَسْرَارِهِمْ وَأَنْوَارِ هِمْ فِي الدِّيْنِ وَالدُّنْياَ وَالآخِرَةِ.
28. اَلْفَاتِحَةَ
إِلَى أَرْوَاحِ ساَدَاتِنَا الصُّوْفِيَّةِ أَيْنَمَا كَانُوا فِي مَشَارِقِ الأَرْضِ وَمَغَارِبِهَا وَحَلَّتْ أَرْوَاحُهُمْ – أَنَّ اللهَ يُعْلِي دَرَجَاتِهِمْ فِي الْجَنَّةِ وَيَنْفَعُنَا بِهِمْ وَبِعُلُومِهِمْ وَبِأَسْرَارِهِمْ وَأَنْوَارِ هِمْ، وَيُلْحِقُنَا بِهِمْ فِي خَيْرٍ وَعَافِيَةٍ.
29. اَلْفَاتِحَةَ
إِلَى رُوْحِ صاَحِبِ الرَّاتِبِ قُطْبِ الإِرْشَادِ وَغَوْثِ الْعِبَادِ وَالْبِلاَدِ الْحَبِيْبِ عَبْدِ اللهِ بِنْ عَلَوِي الْحَدَّاد وَأُصُوْلِهِ وَفُرُوْعِهِ أَنَّ اللهَ يُعْلِي دَرَجَاتِهِمْ فِي الْجَنَّة وَيَنْفَعُنَا بِهِمْ وَأَسْرَارِهِمْ وَأَنْوَارِهِمْ بَرَكَاتِهِمْ فِي الدِّيْنِ وَالدُّنْياَ وَالآخِرَةِ.
30. اَلْفَاتِحَة
إِلَى كَافَّةِ عِبَادِ اللهِ الصّالِحِينَ وَالْوَالِدِيْنِ وَجَمِيْعِ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ أَنْ اللهَ يَغْفِرُ لَهُمْ وَيَرْحَمُهُمْ وَيَنْفَعُنَا بَأَسْرَارِهِمْ وبَرَكَاتِهِمْ
31. (ويدعو القارئ):
اَلْحَمْدُ اللهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ حَمْدًا يُوَافِي نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَه، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وأَهْلِ بَيْتِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ بِحَقِّ الْفَتِحَةِ الْمُعَظَّمَةِ وَالسَّبْعِ الْمَثَانِيْ أَنْ تَفْتَحْ لَنَا بِكُلِّ خَيْر، وَأَنْ تَتَفَضَّلَ عَلَيْنَا بِكُلِّ خَيْر، وَأَنْ تَجْعَلْنَا مِنْ أَهْلِ الْخَيْر، وَأَنْ تُعَامِلُنَا يَا مَوْلاَنَا مُعَامَلَتَكَ لأَهْلِ الْخَيْر، وَأَنْ تَحْفَظَنَا فِي أَدْيَانِنَا وَأَنْفُسِنَا وَأَوْلاَدِنَا وَأَصْحَابِنَا وَأَحْبَابِنَا مِنْ كُلِّ مِحْنَةٍ وَبُؤْسٍ وَضِيْر إِنَّكَ وَلِيٌّ كُلِّ خَيْر وَمُتَفَضَّلٌ بِكُلِّ خَيْر وَمُعْطٍ لِكُلِّ خَيْر يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْن.
32. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْـأَلُكَ رِضَـاكَ وَالْجَنَّـةَ وَنَـعُوْذُ بِكَ مِنْ سَـخَطِكَ وَالنَّـارِ. (X3)

Minggu, 28 Oktober 2012


SHOLAWAT SUNTHON

Ada seorang Sulthon (Raja) yang bernama Sulthon Mahmud Al Ghaznawi. Sepanjang hidupnya Raja ini selalu menyibukkan dirinya dengan membaca shalawat kepada nabi Muhammad SAW. Setiap selesai shalat subuh, sang raja membaca shalawat sebanyak 300.000 kali. Begitu asyiknya raja membaca shalawat sebanyak itu, seolah-olah beliau lupa akan tugasnya sebagai seorang raja, yang di pundaknya tertumpu berbagai tugas negara dan berbagai macam harapan rakyatnya yang bergantung padanya. Sehingga kalau pagi tiba, sudah banyak rakyatnya yang berkumpul di istana menunggu sang raja, untuk mengadukan persoalannya.

Namun sang raja yang ditunggu-tunggu tidak kunjung hadir. Sebab sang raja tidak akan keluar dari kamarnya, walau hari telah siang, jika belum menyelesaikan wirid shalawatnya. Setelah kejadian ini berlangsung agak lama, pada suatu malam beliau bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW.
Di dalam mimpinya, Rasulullah SAW bertanya, “Mengapa kamu berlama-lama di dalam kamar? Sedangkan rakyatmu selalu menunggu kehadiranmu untuk mengadukan berbagai persoalan mereka.” Raja menjawab, “Saya duduk berlama-lama begitu, tak lain karena saya membaca shalawat kepadamu sebanyak 300.000 kali, dan saya berjanji tidak akan keluar kamar sebelum bacaan shalawat saya selesai.”
Rasulullah SAW lalu berkata, “Kalau begitu kasihan orang-orang yang punya keperluan dan orang-orang lemah yang memerlukan perhatianmu. Sekarang aku akan ajarkan kepadamu shalawat yang apabila kamu baca sekali saja, maka nilai pahalanya sama dengan bacaan 100.000 kali shalawat. Jadi kalau kamu baca tiga kali, pahalanya sama dengan 300.000 kali shalawat yang kamu baca.” Rasulullah SAW lalu membacakan lafazh shalawat yang kemudian dikenal dengan nama shalawat sulthon.
Akhirnya, raja Mahmud lalu mengikuti anjuran Rasulullah SAW tersebut, yaitu membaca shalawat tadi sebanyak tiga kali. Dengan cara demikian,shalawat dapat beliau baca dan urusan negara dapat dijalankan dengan sempurna.
Setelah beberapa waktu mengamalkan shalawat itu, raja kembali bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Apa yang kamu lakukan, sehingga malaikat kewalahan menuliskan pahala amalmu?” Raja menjawab, “Saya tidak mengamalkan sesuatu, kecuali mengamalkan shalawat yang anda ajarkan kepada saya itu.”
inilah Solawatnya
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ رَحْمَةِ الله
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ فَضْلِ اللهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّد بِعَدَدِ خَلْقِ اللهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ مَا فِى عِلْمِ اللهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ كَرَمِ اللهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ حُرُوْفِ كَلاَمِ اللهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ كَلِمَاتِ اللهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ قَطْرِ اْلاَمْطَارِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ وَرَقِ اْلاَشْجَارِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ رَمْلِ اْلقِفَارِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ اْلحُبُوبِ وَ اْلثِمَارِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ مَا اَظْلَمَ عَلَيْهِ اللَّيْلِ وَ اَشْرَقَ عَلَيْهِ النَّهَارِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ مَنْ صَلَّ عَلَيْهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ مَنْ لَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ اَنْفَاسِ اْلخَلْقِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ لُجُُوْمِ السَمَوَاتَََِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّد بِعَدَدِ كُلٍَّ شَىْءٍ فِى الدُّنْيَا وَاْلاَخِرَةِ
وَصَلَوَاتُ اللهِ وَ مَلاَءِكَتَهُ وَ اَنْبِيَاءِهِ وَ رُسُلِهِ وَ جَمِيْعِ خَلْقِهِ عَلَى سَيِّدِ اْلمُرْسَلِيْنَ وَ اِمَامِ اْلمُتَّقِيْنَ
وَ قَاءِدِ غُرِّ اْلمُحَجِّلِيْنَ وَ شَفِيْعِ اْلمُذْنِبِيْنَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ اصْحَابِهِ وَ اَزْوَاجِهِ
وَ ذُرِّيَتِهِ وَ اَهْلِ بَيْتِهِ وَ اْلاَءِمَّةِ اْلمَضِيِّيْنَ وَ اْلمَشَاءِخِ اْلمُتَقَدِّمِيْنَ وَ الشُّهَدَاءِ وَ الصَّالِحِيْنَ
وَ اَهْلِ طَاعَتِكَ اَجْمَعِيْنَ مِنْ اَهْلِ السَّمَوَاتِ وَ اْلاَرَضِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ
وَ يَا اَكْرَمَ اْلاَكْرَمِيْنَ وَ اْلحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ وَ صَلَّ اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلِّمْ
“Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah rahmatnya Allah. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah keutamaan dari Allah. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah ciptaan Allah. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah apa-apa yang ada dalam pengetahuan Allah. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah kemuliaan dari Allah. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah huruf Kalamullah (Kitab-Kitab Allah). Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah kalimat Allah. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak tetesan air hujan. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah daun-daun pepohonan. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah butir pasir di gurun. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah biji-bijian dan buah-buahan. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah yang dinaungi kegelapan malam dan diterangi oleh benderang siang. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah orang yang telah bershalawat kepadanya. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah orang yang belum bershalawat kepadanya. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah napas-napas makhluk ciptaan. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah apa yang ada di seluruh langit. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah tiap-tiap sesuatu yang ada di dalam dunia dan akhirat. Dan segenap shalawat dari Allah beserta para malaikat-Nya, dan para Nabi-Nya, dan para Rasul-Nya, dan seluruh ciptaan-Nya, semoga tercurah atas junjungan para Rasul, pemimpin orang-orang yang bertaqwa, pemuka para ahli surga, pemberi syafa’at orang-orang yang berdosa, Nabi Muhammad dan juga atas keluarganya, para sahabatnya, istri-istrinya, keturunannya, ahli baitnya, para pemimpin yang telah lampau, para guru yang terdahulu, para syuhada dan orang-orang soleh, dan yang senantiasa taat kepada Allah seluruhnya, dari penghuni bumi dan langit, dengan rahmat-Mu, wahai yang Maha Pengasih dan Penyayang, dan Engkau Yang Maha Mulia dari semua yang mulia, segala pujian bagi Allah Tuhan alam semesta. Dan shalawat serta salam atas Nabi Muhammad beserta keluarga dan sahabatnya.”
bismillahirrahmanirrahim.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi rahmatillah.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi fadhlillah
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi kholqillah.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi maa fi ilmillah.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi karomillah.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi hurufi kalamillah.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi kalimatillah.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi qothril amthor.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi waroqil asy,jar.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi romlil qifar.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi hububi wa tsimar.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi maa adhlama alaihil lail w asyroq alaihin nahar.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi man shola alaih
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi man lam yusholli alaih.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi anfasil kholq.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi nujumis samaawat.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi kulli saiy,in fid duny wal akhirah.
sholawatullahi wa malaikatihi wa anbiyaihi wa rusulhi wa jami’i kholqihi ala sayyisil mursalim wa imamil muttaqin wa qoidil ghuril muhajjalin wa syafi’il mudznibiin sayyiina Muhammadin wa alaa alihi wa shaabihi wa azwajihi wa dzurriyatihi wa ahli baitihi wal a,immatil maadhiyyin wa masyaikhil mutaqoddimin wa shuhada’i was sholihin wa ahli thoatika ajmain min ahli samaawati wal ardhiyn bi rohmatika ya arhamarrohimin wa yaa akromal akromin walhamdulillahi robbil alamain wa sholla ALLAHu ala sayyidina Muhamadin wa alaa alahih wa shohbihi wa sallam..

Selasa, 16 Oktober 2012

Kisah Nabi Khidr Dan Iskandar dzulkarnain
DI SEBALIK KISAH RAJA ISKANDAR DZUL QARNAIN
MASUK KE TEMPAT GELAP
Pada saat Raja Iskandar Dzul Qarnain pada tahun 322 S. M. berjalan di atas bumi menuju ke tepi bumi*, Allah mewakilkan seorang malaikat yang bernama Rofa’il untuk mendampingi Raja Iskandar Dzul Qarnain. Di tengah perjalanan mereka berbincang-bincang, Raja Iskandar Dzul Qarnain berkata kepada malaikat Rofa’il: “Wahai malaikat Rofa’il ceritakan kepadaku tentang ibadah para malaikat di langit”, malaikat Rofa’il berkata, “Ibadah para mailaikat di langit di antaranya ada yang berdiri tidak mengangkat kepalanya selama-lamanya, dan ada pula yang rukuk tidak mengangkat kepala selama-lamanya”.
Kemudian raja berkata, “Alanglah senangnya seandainya aku hidup bertahun-tahun dalam beribadah kepada Allah”.
Lalu malaikat Rofa’il berkata, “Sesungguhnya Allah telah menciptakan sumber air bumi, namanya ‘Ainul Hayat’ yang bererti, sumber air hidup. Maka barang siapa yang meminumnya seteguk, maka tidak akan mati sampai hari kiamat atau sehingga ia mohon kepada Allah agar supaya dimatikan”.
Kemudianya raja bertanya kepada malaikat Rofa’il, “Apakah kau tahu tempat “Ainun Hayat itu?”. mailaikat Rofa’il menjawab, “Bahwa sesungguhnya Ainun Hayat itu berada di bumi yang gelap”.
Setelah raja mendengar keterangan dari malaikat Rofa’il tentang Ainul hayat, maka raja segera mengumpulkan ‘Alim Ulama’ pada zaman itu, dan raja bertanya kepada mereka tentang Ainul Hayat itu tetapi mereka menjawab, “Kita tidak tahu khabranya, namun seoarng yang alim di antara mereka menjawab, “Sesungguhnya aku pernah membaca di dalam wasiat nabi Adam As, beliau berkata bahwa sesungguhnya Allah meletakkan Ainul Hayat di bumi yang gelap”.
“Di manakah tempat bumi gelap itu?” tanya raja. Seorang yang alim menjawab, “Di tempat keluarnya matahari”.

Kemudian raja bersiap-siap untuk mendatangi tempat itu, lalu raja bertanya kepada sahabatnya. “Kuda apa yang sangat tajam penglihatannya di waktu gelap?”. Para sahabat menjawab, “Kuda betina yang perawan”.
Kemudian raja mengumpulkan 1000 ekor kuda betina yang perawan-perawan, lalu raja memilih-milih di antara tenteranya yang seramai 6000 orang dipilih yang cendikiawan dan yang ahli mencambuk.
Di antara mereka adalah Nabi Khidir As, bahkan beliau menjabat sebagai Perdana Menteri.
Kemudian berjalanlah mereka dan Nabi Khidir berjalan di depan pasukannya dan mereka jumpai dalam perjalanan, bahwa tempat keluarnya matahari itu tepat pada arah kiblat.
Kemudian mereka tidak berhenti-henti menempuh perjalanan dalam waktu 12 tahun, sehingga sampai ditepi bumi yang gelap itu, ternyata gelapnya itu memancar seperti asap, bukan seperti gelapnya waktu malam.
Kemudian seorang yang sangat cendikiawan mencegah Raja masuk ke tempat gelap itu dan tentara-tentaranya berkata kepada raja.”Wahai Raja, sesungguhnya raja-raja yang terdahulu tidak ada yang masuk tempat yang gelap ini karena tempat yang gelap ini berbahaya.” Lalu Raja berkata: ” Kita harus memasukinya, tidak boleh tidak.”
Kemudian ketika Raja hendak masuk, maka meraka semua membiarkannya. Kemudian Raja berkata kepada pasukannya: ” Diamlah, tunggulah kalian ditempat ini selama 12 tahun, jika aku bisa datang pada kalian dalam masa 12 tahun itu, maka kedatanganku dan menunggu kalian termasuk baik, dan jika aku tidak datang sampai 12 tahun, maka pulanglah kembali ke negeri kalian”. Kemudian raja bertanya kepada Malaikat Rofa’il: ” Apabila kita melewati tempat yang gelap ini, apakah kita dapat melihat kawan-kawan kita?”. “Tidak bisa kelihatan”,jawab malaikat Rofa’il,” akan tetapi aku memberimu sebuah merjan atau mutiara, jika merjan itu ke atas bumi, maka mutiara tersebut dapat menjerit dengan suara yang keras, dengan demikian maka kawan-kawan kalian yang tersesat jalan dapat kembali kepada kalian.”
Kemudian Raja Iskandar Dzul Qurnain masuk ke tempat yang gelap itu bersama sekelompok pasukannya, mereka berjalan di tempat yang gelap itu selama 18 hari tidak pernah melihat matahari dan bulan, tidak pernah melihat malam dan siang, tidak pernah melihat burung dan binatang liar, sedangkan raja berjalan dengan didampingi oleh Nabi Khidlir As.
Di saat mereka berjalan, maka Allah memberi wahyu keapda Nabi Khidlir As,” Bahwa sesungguhnya Ainul Hayat itu berada di sebelah kanan jurang dan Ainul Hayat ini Aku khususkan untuk kamu”.
Setelah Nabi Khidlir menerima wahyu tersebut, kemudian beliau berkata kepada sahabat-sahabatnya: “Berhentilah kalian di tempat kalian masing-masing dan janganlah kalian meninggalkan tempat kalian sehingga aku datang kepada kalian.”
Kemudian beliau berjalan menuju kesebelah kanan jurang, maka dapatilah oleh beliau sebuah Ainul Hayat yang dicarinya itu. Kemudian Nabi Khidlir As turun dari kudanya dan beliau langsung melepas pakaiannya dan turun ke “Ainul Hayat” (sumber air hidup) tersebut, dan beliau terus mandi dan minum sumber air hidup tersebut, maka dirasakan oleh beliau airnya lebih manis daripada madu.
Setelah beliau mandi dan minum Ainul hayat tersebut, kemudian beliau keluar dari tempat Ainul Hayat itu terus menemui Raja Iskandar Dzulkarnain, sedangkan raja tidak tahu apa yang sedang terjadi pada Nabi Khidlir As. tentang melihat Ainul Hayat dan mandi.
(Menurut riwayat yang diceritakan oleh Wahab bin Munabbah), dia berkata, bahwa Nabi Khidlir As. adalah anak dari bibi Raja Iskandar Dzul Qarnain. Dan raja Iskandar Dzulkarnain keliling di dalam tempat yang gelap itu selama 40 hari, tiba-tiba tampak oleh Raja sinar seperti kilat, maka terlihat oleh Raja bumi yang berpasir merah dan terdengar oleh raja suara gemercik di bawah kaki kuda, kemudian Raja bertanya kepada Malaikat Rofa’il: “Gemercik ini adalah suara benda apabila seseorang mengambilnya, niscaya ia akan menyesal dan apabila tidak mengambilnya, niscaya ia akan menyesal juga.”
Kemudian di antara pasukan ada yang membawanya namun sedikit, setelah mereka keluar dari tempat yang gelap itu, ternyata bahwa benda tersebut adalah yakut yang berwarna merah dan jamberut yang berwarna hijau, maka menyesallah pasukan yang mengambil itu karena mengambilnya hanya sedikit, demikianlah pula pasukan yang tidak mengambilnya, bahkan lebih menyesal.
Diriwayatkan oleh Ats-tsa ‘ Labi dari Iman Ali Rodliayllohu ‘ anhu.
1. Cerita ini dikutib dari kitab “Baidai’iz karangan Syeikh Muhammad bin Ahmad bin Iyas halaman 166 – 168
Penerbit: Usaha Keluarga s Semarang

11. Cerita dari Kitab Nuzhatul Majalis
Karangan Syeikh Abdul Rohman Ash-Shafuri
Penerbit Darul Fikri Bairut
Halaman 257 – 258.





SIAPA NABI KHIDIR?
1. Khidir adalah seorang anak cucu Nabi Adam yang taat beribadah kepada Allah dan ditangguhkan ajalnya. (Kitab Al Ifrad karya Daruquthani dan Ibnu Asakir riwayat Ibnu Abbas.
2. Ibu Khidir berasal dari Romowi sedangkan bapaknya keturunan bangsa Parsi. (Fathul Bari juz v1, halaman 310, Al Bidayah Wan Nihayah juz 1 hal 326 Ruhul Ma’ani juz xv hal 319).
3. Kata Al Alusi, “Aku tidak membenarkan semua sumber yang menyatakan tentang riwayat asal-usul Khidir. Tetapi An Nawawi menyebutkan bahawa Khidir adalah putera raja”. (Fathul Bari juz v1 hal 390.
4. Riwayat lain mengisahkan bahawa Khidir itu anak Firaun. Wallahu a’lam bisshowab. (Tahdziebul Asma Wal Lughaat, juz 1 hal 177).
HIDUP ATAU MATI?
1. Kalangan Ulama beranggapan bahawa Khidir masih hidup. Pendapat ini tidak ditentang oleh kaum sufi dan ahli makrifat. Mereka sering berbincang tentang pengalaman bertemu, bercakap-cakap dengannya.
2. Banyak Ulama yang menpunyai dalil bukti tentang hidupnya Khidir sampai sekarang. (Syareah Muhaddzab An Nawawi juz v hal 305).
3. Abu Ishaq At Tsa’alibi berkata, “Bahawa Khidir tidak akan mati sampai akhir zaman nanti”. (Tahdzibul Asma’ Wal Lughat juz 1 hal 177, Fathul Bari juz v1 hal 310).
4. Ibrahim Al Harbi ditanya tentang hidupnya Khidir lalu menjawab, “Barangsiapa yang berkata mustahil terhadap masalah yang tidak diketahuinya, maka ia adalah syaitan yang berwujud manusia”. (Rahul Ma’ani juz xv hal 320).
Dari buku KHIDLIR – Nabi atau Wali? Hidup atau Mati?Dialog dengan Nabi Hkidir
Karya KH JAMALUDDIN KAFIE
Penerbit PT. GAROEDA BUANA INDAH – INDONESIA.

Gambar/ilustrasi sekadar hiasan.
Photo/illustration for display purposes.

Senin, 15 Oktober 2012

Hikmah: Kisah-kisah Nyata Keberkahan Manfaat SHOLAWAT

TAUBATNYA PENJAHAT Berkah Bacaan Shalawat

Seorang yang sangat zuhud bernama Syeikh Abdul Wahid bin Zaid berkisah sebagai berikut :
Seorang tetangga
kami, bekerja sebagai pegawai negeri dan sangat jahat ketika hidupnya di dunia, dan melakukan maksiat dan suka menakut-nakuti orang.
Pada suatu malam, saya melihat di dalam tidur bahwa tangan tetangga saya tersebut memegang tangan Rosululloh SAW. Saya bertanya kpd Rosululloh SAW :
“Wahai Rosululloh, seseungguhnya org ini sangat terkenal sebagai penjahat di muka Bumi, bagaimana ceritanya engkau sangat menaruh tanganmu memegang tangannya ? “ Rosululloh SAW bersabda :
“ Saya mengetahui apa yang engkau katakan tersebut. Oleh karena itu, saya datang untuk memberikan SYAFAATku kepadanya. ”
Kemudian saya bertanya kepada Rosululloh SAW :
“ Wahai Rosul, apakah kelebihan tetangga kami itu, sehingga engkau memberikan syafaatnya ? ”
Rosululloh SAW menjawab :
“ Tetanggamu itu banyak membaca SHOLAWAT kepadaku. Pada tiap malam ketika dia hendak tidur, dia selalu membaca sholawat 1000 kali ( seribu kali ), sehingga aku mohon kepada Alloh SWT mudah-mudahan syafaatku ini diterima disisi-Nya, agar tetanggamu ini bertaubat kpd-Nya.”
Berkata Syeikh Abdul Wahid ( shohibul hikayat ) :
“ Di pagi hari saya mengajar di Masjid
sebagaimana biasanya, tiba-tiba datang tetangga itu, disaat saya sedang menceritakan apa yang saya lihat di dalam tidur ( mimpi ), dia masuk dan mengucapkan salam sambil menangis, lalu dia berkata :
“ Wahai Syeikh Abdul wahid, izinkanlah aku menjabat tanganmu, karena Rosululloh SAW mengutusku kepadamu, agar aku bertaubat di hadapanmu, dan disaksikan oleh murid-muridmu di Masjid ini. ”
Syekh Abdul
Wahid telah berjabat tangan dengan tetangganya yang telah menyesali segala perbuatannya selama hidupnya tersebut. Ia berjanji tidak akan mengulanginya kembali perbuatan jahatnya tersebut.”
Subhanalloh…… Setelah itu, Syeikh Abdul Wahid bertanya kpd tetangganya tsb : “ Apakah yang menyebabkan engkau bertaubat, wahai saudaraku…?” Tetangganya
menjawab :
“ Rosululloh SAW telah
datang kepadaku di dalam tidurku, dan beliau meneceritakan kepadaku tentang Tanya jawab yang antara engkau dengan beliau, kemudian Rosululloh memegang tanganku dan bersabda:
“ Aku datang kepadamu untuk memberikan syafaat Alloh atas segala dosamu, adalah semata-mata karena engkau banyak membaca Sholawat atasku. ” “ Setelah itu beliau bertitah kepadaku, agar di pagi hari aku datang kepadamu, Wahai Syaikh….Untuk mengumumkan kepada khalayak ramai bahwa aku telah bertaubat yang sebenar-benarnya…..”
Demikianlah keberkahan membaca Sholawat atas Rosululloh SAW, ternyata tdk sia-sia bagi setiap lisan yang selalu di basahi dengan sholawat.
Kisah diatas sebagai bukti nyata Syafaat Rosululloh SAW, bahwa pembacaan sholawat dapat mengugurkan dosa-dosa yang pernah terlanjur dikerjakan oleh seseorang. Sebagaimana diterangkan dalam Hadits :
“ Diriwayatkan dari Abu Bakar As Shiddiq : belaiu berkata, bahwa sholawat kepada Nabi SAW lebih cepat menghapus dosa dari pada air dingin memdamkan api dan lebih utama dari pada memerdekakan hamba sahaya ”

( dari Kitab Bustanul Wa Idzin )


SHOLAWAT YANG DITERIMA

Di kisahkan bahwa Amir Madinah bershalawat Kepada Nabi Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam sebanyak 4000 kali tiap hari tanpa sepengetahuan siapapun, kecuali Allah.
Suatu malam ada seorang wanita miskin melahirkan anak. Ia begitu miskin hingga tak mampu membeli lampu maupun minyak bayi. Hal ini membuat suaminya sangat sedih. Dalam kesedihannya itu, ia tertidur dan bermimpi bertemu Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
“Pergi dan temuilah Amir Madinah. Katakan bahwa Nabi memerintahkannya untuk menanggung biaya sebesar 100 dinar. Tanda kebenaran berita ini adalah bacaan shalawatnya di depan jendela kuburku sebanyak 4000 kali tiap hari,” perintah Nabi Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam mimpi.
Lelaki itu lalu menemui seorang Syeikh dan menceritakan mimpinya. Mereka lalu sepakat untuk pergi ke rumah Sang Amir Madinah. Setelah keduanya duduk di hadapan Amir Madinah, Sang Syeikh berkata, “Lelaki ini bermimpi tentangmu, dengarkanlah ceritanya.” “Ceritakanlah mimpimu,” kata Amir Madinah.
Lelaki miskin itu kemudian menceritakan mimpinya.
“Mimpi mu benar. Aku bersedia menanggung biaya yang di tetapkan Nabi Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam,” kata Amir Madinah.
Ia lalu bangkit mengambil 100 dinar, “Ini biaya yang harus ku tanggung.”
Ia kemudian memberikan 100 dinar lagi, “Ini Hadiah untuk kabar gembira yang kau bawa, yaitu di terimanya shalawatku oleh Nabi Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam.”
Ia menyerahkan 100 dinar lagi. “Ambillah ini, belanjakanlah untuk keperluan keluargamu dan bayi yang baru lahir,” kata sang Amir.
Perhatikanlah keikhlasan Amir Madinah dalam beribadah. Ia bershalawat kepada Nabi Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Nabi Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam merasa senang dan memberinya kabar gembila di dunia.
Sedangkan kita, mengapa jika kita bershalawat atau bersedekah tidak melihat tanda-tanda pengabulan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. MENGAPA?
Aku tidak melihat sebab lain, kecuali tebalnya hijab, karena kita melakukan hal – hal yang tidak pantas. Yaitu hal – hal yang menjauhkan kita dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala…

Sumber Buku Kisah dan Hikmah Dalam Kalam Habib Muhammad Bin Hadi Asseqaf
pimpinan majlis ta'lim baiturrahim pangkalan jati cipinang melayu jakarta timur
Perayaan mawlid-ur-rasūl tidak pernah dilakukan oleh para salaf-us-ṣālih di kurun ketiga yang pertama [1], meskipun mereka mengagungkan dan menyayangi RasūlulLāh Ṣ.‘A.W di mana kecintaan (dan kasih-sayang) mereka kepada baginda sama sekali tidak dapat ditandingi oleh umat Islam masa kini.
Walau bagaimanapun, ia (sambutan tersebut) adalah aktiviti yang elok jika pelakunya mempunyai tujuan yang baik menghimpunkan orang-orang yang ṣālih dan berṣalawat ke atas RasūlulLāh Ṣ.‘A.W, memberikan makanan kepada golongan fakir dan miskin, dan ianya diberikan pahala oleh الله dengan syarat perlakuan tersebut (memberikan makanan) dilakukan sepanjang masa (tidak terhad ketika sambutan mawlid-ur-rasūl sahaja).
Imām Ash-Shāfi‘īy r.ḥ (meninggal 204H) berkata : “Perkara-perkara baru itu terbahagi kepada dua, pertamanya, apa-apa perkara baru yang menyalahi kitāb (Al-Qur’ān) atau sunnah atau āthār atauijmā‘, maka ia adalah bid‘ah yang sesat; dan keduanya, apa-apa perkara baru yang baik yang tidak menyalahi salah satu yang tersebut, maka ia adalah perkara baru yang tidak dicela.” ‘Umar r.‘a berkata tentang mendirikan (ṣalāt tarāwīḥ di bulan) Ramaḍān: “Sebaik-baik bid‘ah ialah ini.” Maksud beliau ialah perkara demikian adalah hal yang baru, tidak pernah ada sebelum ini. Disebabkan ia adalah begitu (bid‘ah yang baik), ia tidaklah boleh ditolak apa-apa (hukum) yang telah lalu. Maka, bid‘ah yang baik itu telah disepakati akan keharusan melakukannya dan galakan kepadanya dengan harapan mendapat pahala bagi mereka yang mempunyai niat yang baik padanya, iaitu setiap perkara baru yang berbetulan dengan kaedah-kaedah sharī‘ah tanpa menyalahinya sesuatu pun, tentulah tiada kemudaratan dari segi shara‘ untuk melakukannya.
Dan, sambutan dengan dhikir-dhikir yang baik telah thābit dan mempunyai asal dari segi shara‘, di mana terdapat riwayat daripada Ibnu ‘Abbās r.‘a: “Bahawa Nabīy Ṣ.‘A.W ketika baginda tiba di Madinah, baginda dapati mereka sedang berpuasa sehari, iaitu ‘Āshūra’. Lalu, mereka berkata: “Ini adalah hari yang agung, dan iaitu hari الله melepaskan Mūsā ‘a.s dan menenggelamkan keluarga Fir‘aūn, maka Mūsā ‘a.s berpuasa sebagai tanda syukur kepada الله.” Maka baginda (RasūlulLāh Ṣ.‘A.W) bersabda (mafhūmnya): “ Aku lebih utama dengan Mūsā ‘a.s berbanding mereka.” Baginda kemudiannya berpuasa, dan baginda mengarahkan dengan berpuasa (pada hari tersebut) [2].”
Sebab itu, dapatlah difahami daripada perbuatan tersebut (puasa) sebagai tanda syukur kepada الله تعالى atas apa-apa yang telah Dia anugerahkan pada hari tertentu daripada limpahan nikmat atau penolakan bencana dan dikira demikian itu pada seumpama hari tersebut setiap tahun.
Dan, (menyatakan) kesyukuran kepada الله تعالى boleh terhasil dengan pelbagai bentuk ibadat seperti puasa, sedekah, dan membaca Al-Qur’ān, dan adakah nikmat yang lebih agung yang telah الله kurniakan kepada kita selain daripada kelahiran Nabīy Ṣ.‘A.W yang membawa raḥmat pada hari tersebut? Firman الله تعالى yang bermaksud : “Demi sesungguhnya الله telah mengurniakan kepada orang-orang yang beriman apabila Dia telah mengutuskan seorang rasūl untuk mereka ,dia daripada kalangan mereka sendiri, dia membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, dan dia membersihkan mereka, dan dia mengajarkan mereka Al-Kitāb dan ḥikmah, dan meskipun mereka sebelum (ini) berada di dalam kesesatan yang nyata.” – Sūrah ’Āli ‘Imrān:164
Berdasarkan apa-apa yang telah disebut sebelum ini dan perkara yang dibangkitkan oleh penyoal, maka sesungguhnya sambutan kelahiran Nabīy Ṣ.‘A.W itu tidaklah ditegah oleh shara‘, kerana terdapat padanya penzahiran rasa keseronokan dan kegembiraan dengan kelahiran Nabīy Ṣ.‘A.W, serta memberikan peringatan kepada umat Islam dengan sīrah baginda yang mengharum dan jalannya yang sempurna dalam menyebarkan da‘wah islāmiyyah. Namun begitu, menjadi kemestian bahawa dipelihara pada sambutan tersebut pegangan yang teguh dengan adab-adab dan pedoman-pedoman Islam sehingga jadilah ia satu sambutan yang mengandungi maksud sebenar untuk menegakkan ketamadunan Islam. Misalnya, (aktiviti) pembacaan Al-Qur’ān, perbanyakkanṣalawat ke atas Nabīy Ṣ.‘A.W, mengadakan forum-forum ilmiah yang dengannya memberikan peringatan kepada umat Islam mengenai sīrah baginda Ṣ.‘A.W, jihadnya pada jalan الله, dan juga memberikan kesedaran kepada mereka dengan sejarah Islam yang mengumpulkan para mujāhidīn,‘ulamā’ dan awliyā’. Begitu juga, wajiblah memelihara pada sambutan tersebut daripada sebarang percampuran antara lelaki dengan perempuan, dan tidaklah berlaku di dalamnya main-main dan kekacauan atau apa-apa perkara yang menyalahi ajaran Islam, dan tidak digunakan di dalamnya alat-alat yang melalaikan dan menghiburkan seperti seruling, drum, dan seumpamanya.
Nota kaki:
[1] Imām As-Suyūtīy r.ḥ (meninggal 911H), Ḥusn-ul-Maqṣid Fī ‘Amal-il-Mawlid, m.s 16, Dār-ul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut,Lebanon
[2] Imām Bukhārīy r.ḥ (meninggal 256H), Ṣaḥīḥ-ul-Bukhārīy, Kitāb ’Aḥādīth-il-’Anbiyā’, nombor 3216

Sayyid Ja’far Bin Husain Bin Abdul Karim Al-Barzanji
Garis Keturunannya:
Sayyid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Syed ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Syed ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali r.a. dan Sayidatina Fatimah binti Rasulullah saw.

Dinamakan Al-Barjanzy karena dinisbahkan kepada nama desa pengarang yang terletak di Barjanziyah kawasan Akrad (kurdistan). Kitab tersebut nama aslinya ‘Iqd al-Jawahir (Bahasa Arab, artinya kalung permata) sebagian ulama menyatakan bahwa nama karangannya adalah “I’qdul Jawhar fi mawlid anNabiyyil Azhar”. yang disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad saw, meskipun kemudian lebih terkenal dengan nama penulisnya.
Beliau dilahirkan di Madinah Al Munawwarah pada hari Kamis, awal bulan Zulhijjah tahun 1126 H (1711 M). Beliau menghafal Al-Quran 30 Juz kepada Syaikh Ismail Alyamany dan Tashih Quran (mujawwad) kepada syaikh Yusuf Asho’idy kemudian belajar ilmu naqliyah (quran Dan Haditz) dan ‘Aqliyah kepada ulama-ulama masjid nabawi Madinah Al Munawwarah dan tokoh-tokoh qabilah daerah Barjanzi kemudian belajar ilmu nahwu, sharaf, mantiq, Ma’ani, Badi’, Faraidh, Khat, hisab, fiqih, ushul fiqh, falsafah, ilmu hikmah, ilmu teknik, lughah, ilmu mustalah hadis, tafsir, hadis, ilmu hukum, Sirah Nabawi, ilmu sejarah semua itu dipelajari selama beliau ikut duduk belajar bersama ulama-ulama masjid nabawi. Dan ketika umurnya mencapai 31 tahun atau bertepatan 1159 H barulah beliau menjadi seorang yang ‘Alim wal ‘Allaamah dan Ulama besar.
Kitab “Mawlid al-Barzanji” ini telah disyarahkan oleh al-’Allaamah al-Faqih asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan panggilan Ba`ilisy yang wafat tahun 1299H dengan satu syarah yang memadai, cukup elok dan bermanfaat yang dinamakan “al-Qawl al-Munji ‘ala Mawlid al-Barzanji” yang telah banyak kali diulang cetaknya di Mesir.
Di samping itu, kitab Mawlid Sidi Ja’far al-Barzanji ini telah disyarahkan pula oleh para ulama kenamaan umat ini. Antara yang masyhur mensyarahkannya ialah Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy al-Maaliki al-’Asy’ari asy-Syadzili al-Azhari dengan kitab “al-Qawl al-Munji ‘ala Mawlid al-Barzanji”. Beliau ini adalah seorang ulama besar keluaran al-Azhar asy-Syarif, bermazhab Maliki lagi Asy`ari dan menjalankan Thoriqah asy-Syadziliyyah. Beliau lahir pada tahun 1217H (1802M) dan wafat pada tahun 1299H (1882M).
Selain itu ulama kita kelahiran Banten, Pulau Jawa, yang terkenal sebagai ulama dan penulis yang produktif dengan banyak karangannya, yaitu Sayyidul ‘Ulama-il Hijaz, an-Nawawi ats-Tsani, Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi turut menulis syarah yang lathifah bagi “Mawlid al-Barzanji” dan karangannya itu dinamakannya “Madaarijush Shu`uud ila Iktisaa-il Buruud”. Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid Isma`il bin Sayyid Zainal ‘Abidin bin Sayyid Muhammad al-Hadi bin Sayyid Zain yang merupakan suami kepada satu-satunya anak Sayyid Ja’far al-Barzanji, telah juga menulis syarah bagi “Mawlid al-Barzanji” tersebut yang dinamakannya “al-Kawkabul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jawhar fi Mawlidin Nabiyil Azhar”. Sayyid Ja’far ini juga adalah seorang ulama besar keluaran al-Azhar asy-Syarif. Beliau juga merupakan seorang Mufti Syafi`iyyah. Karangan-karangan beliau banyak, antaranya: “Syawaahidul Ghufraan ‘ala Jaliyal Ahzan fi Fadhaa-il Ramadhan”, “Mashaabiihul Ghurar ‘ala Jaliyal Kadar” dan “Taajul Ibtihaaj ‘ala Dhau-il Wahhaaj fi Israa` wal Mi’raaj”. Beliau juga telah menulis sebuah manaqib yang menceritakan perjalanan hidup dan ketinggian nendanya Sayyid Ja’far al-Barzanji dalam kitabnya “ar-Raudhul A’thar fi Manaqib as-Sayyid Ja’far”.
Kembali kepada Sidi Ja’far al-Barzanji, selain dipandang sebagai mufti, beliau juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia tersebut. Beliau terkenal bukan sahaja kerana ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi juga dengan kekeramatan dan kemakbulan doanya. Penduduk Madinah sering meminta beliau berdoa untuk hujan pada musim-musim kemarau. Diceritakan bahawa satu ketika di musim kemarau, sedang beliau sedang menyampaikan khutbah Jumaatnya, seseorang telah meminta beliau beristisqa` memohon hujan. Maka dalam khutbahnya itu beliau pun berdoa memohon hujan, dengan serta merta doanya terkabul dan hujan terus turun dengan lebatnya sehingga seminggu, persis sebagaimana yang pernah berlaku pada zaman Junjungan Nabi s.a.w. dahulu. Menyaksikan peristiwa tersebut, maka sebahagian ulama pada zaman itu telah memuji beliau dengan bait-bait syair yang berbunyi:-
سقى الفروق بالعباس قدما * و نحن بجعفر غيثا سقينا
فذاك و سيلة لهم و هذا * وسيلتنا إمام العارفينا
Dahulu al-Faruuq dengan al-’Abbas beristisqa` memohon hujan
Dan kami dengan Ja’far pula beristisqa` memohon hujan
Maka yang demikian itu wasilah mereka kepada Tuhan
Dan ini wasilah kami seorang Imam yang ‘aarifin
Sidi Ja’far al-Barzanji wafat di Kota Madinah dan dimakamkan di Jannatul Baqi`, sebelah bawah maqam beliau dari kalangan anak-anak perempuan Junjungan Nabi s.a.w. Karangannya membawa umat ingatkan Junjungan Nabi s.a.w., membawa umat kasihkan Junjungan Nabi s.a.w., membawa umat rindukan Junjungan Nabi s.a.w. Setiap kali karangannya dibaca, pasti sholawat dan salam dilantunkan buat Junjungan Nabi s.a.w. Juga umat tidak lupa mendoakan Sayyid Ja’far yang telah berjasa menyebarkan keharuman pribadi dan sirah kehidupan makhluk termulia keturunan Adnan. Allahu … Allah.
اللهم اغفر لناسج هذه البرود المحبرة المولدية
سيدنا جعفر من إلى البرزنج نسبته و منتماه
و حقق له الفوز بقربك و الرجاء و الأمنية
و اجعل مع المقربين مقيله و سكناه
و استرله عيبه و عجزه و حصره و عيه
و كاتبها و قارئها و من اصاخ إليه سمعه و اصغاه
Ya Allah ampunkan pengarang jalinan mawlid indah nyata
Sayyidina Ja’far kepada Barzanj ternisbah dirinya
Kejayaan berdamping denganMu hasilkan baginya
Juga kabul segala harapan dan cita-cita
Jadikanlah dia bersama muqarrabin berkediaman dalam syurga
Tutupkan segala keaiban dan kelemahannya
Segala kekurangan dan kekeliruannya
Seumpamanya Ya Allah harap dikurnia juga
Bagi penulis, pembaca serta pendengarnya
و صلى الله على سيدنا محمد و على اله و صحبه و سلم
و الحمد لله رب العالمين
Dalam bukunya, Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan terhadap Nabi SAW dalam Islam (1991), sarjana Jerman peneliti Islam, Annemarie Schimmel, menerangkan bahwa teks asli karangan Ja’far al-Barzanji, dalam bahasa Arab, sebetulnya berbentuk prosa. Namun, para penyair kemudian mengolah kembali teks itu menjadi untaian syair, sebentuk eulogy bagi Sang Nabi.
Untaian syair itulah yang tersebar ke berbagai negeri di Asia dan Afrika, tak terkecuali Indonesia. Tidak tertinggal oleh umat Islam penutur bahasa Swahili di Afrika atau penutur bahasa Urdu di India, kita pun dapat membaca versi bahasa Indonesia dari syair itu, semisal hasil terjemahan HAA Dahlan atau Ahmad Najieh, meski kekuatan puitis yang terkandung dalam bahasa Arab kiranya belum sepenuhnya terwadahi dalam bahasa kita sejauh ini.
Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa karya Ja’far al-Barzanji merupakan biografi puitis Nabi Muhammad SAW. Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua: “Natsar” dan “Nadhom”. Bagian “Natsar” terdiri atas 19 subbagian yang memuat 355 untaian syair, dengan mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi Muhammad SAW, mulai dari saat-saat menjelang paduka dilahirkan hingga masa-masa tatkala paduka mendapat tugas kenabian. Sementara, bagian “Nadhom” terdiri atas 16 subbagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir “nun”.
Dalam untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa betul adanya keterpukauan sang penyair oleh sosok dan akhlak Sang Nabi. Dalam bagian “Nadhom”, misalnya, antara lain diungkapkan sapaan kepada Nabi pujaan: Engkau mentari, engkau bulan/ Engkau cahaya di atas cahaya.
Di antara idiom-idiom yang terdapat dalam karya ini, banyak yang dipungut dari alam raya seperti matahari, bulan, purnama, cahaya, satwa, batu, dan lain-lain. Idiom-idiom seperti itu diolah sedemikian rupa, bahkan disenyawakan dengan shalawat dan doa, sehingga melahirkan sejumlah besar metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi sendiri, misalnya, dilukiskan sebagai “untaian mutiara”.
Namun, bahasa puisi yang gemerlapan itu, seringkali juga terasa rapuh. Dalam karya Ja’far al-Barzanji pun, ada bagian-bagian deskriptif yang mungkin terlampau meluap. Dalam bagian “Natsar”, misalnya, sebagaimana yang diterjemahkan oleh HAA Dahlan, kita mendapatkan lukisan demikian: Dan setiap binatang yang hidup milik suku Quraisy memperbincangkan kehamilan Siti Aminah dengan bahasa Arab yang fasih.
Betapapun, kita dapat melihat teks seperti ini sebagai tutur kata yang lahir dari perspektif penyair. Pokok-pokok tuturannya sendiri, terutama menyangkut riwayat Sang Nabi, terasa berpegang erat pada Alquran, hadis, dan sirah nabawiyyah. Sang penyair kemudian mencurahkan kembali rincian kejadian dalam sejarah ke dalam wadah puisi, diperkaya dengan imajinasi puitis, sehingga pembaca dapat merasakan madah yang indah.
Salah satu hal yang mengagumkan sehubungan dengan karya Ja’far al-Barzanji adalah kenyataan bahwa karya tulis ini tidak berhenti pada fungsinya sebagai bahan bacaan. Dengan segala potensinya, karya ini kiranya telah ikut membentuk tradisi dan mengembangkan kebudayaan sehubungan dengan cara umat Islam di berbagai negeri menghormati sosok dan perjuangan Nabi Muhammad SAW.
Sifatnya:
Wajahnya tampan, perilakunya sopan, matanya luas, putih giginya, hidungnya mancung,jenggotnya yang tebal,Mempunyai akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakkur, mendahului dalam membuat kebajikan bersedekah,dan sangat pemurah.
Seorang ulama besar yang berdedikasi mengajarkan ilmunya di Masjid Kakeknya (Masjid Nabawi) SAW sekaligus beliau menjadi seorang mufti Mahzhab Syafiiyah di kota madinah Munawwarah.
“Al-’Allaamah al-Muhaddits al-Musnid as-Sayyid Ja’far bin Hasan al-Barzanji adalah MUFTI ASY-SYAFI`IYYAH di Kota Madinah al-Munawwarah. Banyak perbedaan tentang tanggal wafatnya, sebagian menyebut beliau meninggal pada tahun 1177 H. Imam az-Zubaidi dalam “al-Mu’jam al-Mukhtash” menulis bahwa beliau wafat tahun 1184 H, dimana Imam az-Zubaidi pernah berjumpa dengan beliau dan menghadiri majelis pengajiannya di Masjid Nabawi yang mulia.
Maulid karangan beliau ini adalah kitab maulid yang paling terkenal dan paling tersebar ke pelosok negeri ‘Arab dan Islam, baik di Timur maupun di Barat. Bahkan banyak kalangan ‘Arab dan ‘Ajam (luar Arab) yang menghafalnya dan mereka membacanya dalam waktu-waktu tertentu. Kandungannya merupakan khulaashah (ringkasan) sirah nabawiyyah yang meliputi kisah lahir baginda, perutusan baginda sebagai rasul, hijrah, akhlak, peperangan sehingga kewafatan baginda.
Wafat:
Beliau telah kembali ke rahmatullah pada hari Selasa, setelah Asar,4 Sya’ban, tahun 1177 H (1766 M). Jasad beliau makamkan di Baqi’ bersama keluarga Rasulullah saw.
Kitab maulid Barzanji sendiri telah disyarah (dijelaskan) oleh ulama-ulama besar seperti Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy al-Maaliki al-’Asy’ari asy-Syadzili al-Azhari yang mengarang kitab “al-Qawl al-Munji ‘ala Mawlid al- Barzanji” dan Sayyidul ‘Ulama-il Hijaz, Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi “Madaarijush Shu`uud ila Iktisaa-il Buruud”. (Mh/MM)
.

Minggu, 14 Oktober 2012

hadroh al-fata: Sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW   Maulid Nabi at...

hadroh al-fata: Sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW 
 Maulid Nabi at...
: Sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW     Maulid Nabi atau Maulud adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, dimana di Negara Indone...
Sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW  

 Maulid Nabi atau Maulud adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, dimana di Negara Indonesia perayaannya jatuh pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Kata maulid atau milad di ambil dari bahasa bahasa Arab yang artinya hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad. Seperti yang tercatat wikipedia; sejarah awal mula perayaan maulud nabi Muhammad SAW diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang gubernur Irbil, di Irak pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193). Adapula yang berpendapat bahwa idenya justru berasal dari Sultan Salahuddin sendiri. Tujuan Maulud Nabi adalah untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat itu, yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem dan sekitarnya. Untuk lebih lanjut mempelajari sejarah awal mula maulid nabi, seperti biasa awalmula.com berbagi informasi yang dirangkum dari berbagai sumber untuk menambah ilmu pengetahuan kita tentang sejarah lahirnya nabi Muhammad SAW.
Sejarah Awal Mula Maulid Nabi
Pertama kali yang mengada-adakan hari-hari raya dan perayaan-perayaan secara umumnya Maulid-maulid secara khususnya adalah Ubaidiyyun, sebagaimana disebutkan oleh Al Maqrizi dalam kitabnya “ Al-Mawa’idz Wal I’tibar Bidzikril Khuthath Wal Aatsar “ secara nasnya:
(dahulu para khalifah Bani Fathimiyyun sepanjang tahunnya memiliki hari-hari raya dan musim-musim yaitu: musim permulaan tahun, hari Asyura, dan Maulid Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan mauled Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu, dan mauled Hasan dan Husin radhiallahu anhuma, dan mauled Fathimah Az-Zahra radhiallahu anha, dan maulid khalifah Al hadhir, malam pertama Rajab, malam pertengahan Rajab, malam pertama Sya’ban, malam pertengahan Sya’ban, musim malam Ramadhan, awal Ramadhan, Pertengahan Ramadhan, akhir Ramadhan …)
Dan Al-Maqrizi menyebutkan sebagian yang dilakukan pada perayaan-perayaan dan hari-hari raya khususnya enam maulid. Syaikh Muhammad Bakhit Al-Muthi’ie Mantan Mufti Mesir menyebutkan dalam kitabnya: (Ahsanul Kalam Fiima Yata’allaqu bissunnah wal bid’ah minal Ahkam ): bahwa pertama kali yang mengada-adakan enam perayaan maulid tersebut yakni: Maulid Nabi shallallahu alaihi wasallam, maulid Ali, Fathimah, Hasan, Husain radhiallahu anhum, dan maulid Khalifah Al-Hadzir yaitu Al-Mu’izzu Lidinillah dan itu pada tahun 362 H. dan bahwa perayaan-perayaan ini berlangsung hingga dibatalkan oleh Al-Afdzal bin Amirul Jaisy setelah itu.
Siapakah Bani Ubaidiyyun ?
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam kitabnya “ Al-Bidayah Wannihayah”:
(Raja Bani Fathimiyyun telah berkuasa selama 280 tahun. Yang pertama berkuasa adalah Al-Mahdi yang merupakan orang yahudi, lalu masuk kenegeri Maroko dan menggunakan nama Ubaidillah, dan mengaku sebagai keturunan ‘Alawi Fathimiy, dan mengatakan tentang dirinya: bahwa dia Al-Mahdi, yang mana dakwaan pendusta ini didukung oleh orang-orang yang jahil, sehingga mereka memiliki Negara dan kekuatan, dan mendirikan sebuah kota yang diberi nama Al-Mahdiyah dinisbatkan kepadanya, dan dia menjadi raja yang ditaati.
Kemudian diteruskan oleh anaknya Al-Qoim Muhammad, kemudian anaknya Al-Manshur Ismail, kemudian anaknya Al-Mu’izzu Ma’din, dialah pertama dari mereka yang memasuki negeri Mesir, dan dibangun untuknya Kairo Al-Mu’izziyah dan istana-istana kemudian anaknya Al-Aziz Nazzar, kemudian anaknya Al-hakim Manshur, kemudian anaknya Ath-Thahir Ali, kemudian anaknya Al-Mushtansir Ma’din, kemudian anaknya Al-Musta’li Ahmad, kemudian anaknya Al-Amir Manshur, kemudian anak pamannya Al-Hafidz Abdul Majid, kemudian anaknya Adh-Dhafir Ismail, kemudian Al-Faiz Isa, kemudian anak pamannya Al-‘Adzid Abdullah, yang terakhir dari mereka, yang seluruhnya 14 raja selama 280 tahunan.
Dahulu Bani Fathimiyyun merupakan khalifah yang terkaya, terkejam dan paling dholim, yang paling bejat sejarahnya, muncul dimasa mereka kebid’ahan dan kemungkaran, dan banyak pelaku kerusakan sedikit disisi mereka orang-orang shalih dari para ulama dan ahli ibadah, dan banyak tersebar dinegeri syam agama Kristen, Durruziyah, dan Hasyisyiyah..).
Inilah sekilas dari sejarah mereka supaya mereka yang menghidupkan perayaan Maulid dan lainnya siapakah tauladan mereka dalam perkara ini sehingga mereka mengikuti petunjuk dan menyerupai mereka. Sehingga tidak masuk akal apabila para salafush sholih tidak mengenal hal ini lalu mereka mengikuti para Ubaidiyyun yang sesat !!
Sultan Irbil dan perayaan Maulid:
Dahulu di Mosul ada ahli zuhud yaitu Syaikh Umar bin Muhammad Al-Mulla (dahulu dia memiliki satu ruangan yang selalu didatanginya, dan setiap tahunnya dibulan Maulid ada undangan yang didatangi oleh para raja, pemerintah, para ulama, menteri dan mereka merayakan hal itu)
Abu Syamah berkata dalam kitabnya: “ Al-Ba’its ‘alaa inkaril Bida’I wal hawadits” ketika membahas tentang maulid nabi: (pertama kali yang melakukannya di Mosul Syaikh Umar bin Muhammad Al-Mulla seorang yang shalih yang masyhur yang diikuti kemudian oleh Sultan Irbil dan yang lain semoga Allah merahmati mereka).
Dan Sultan Irbil disini adalah Al-Mudzaffar Abu Sa’id Kukburi bin Zaidud diin Ali bin Tabaktakin Sultan Irbil yang wafat tahun (630 H) yang paling terkenal dalam merayakan Maulid Nabi secara berlebihan setelah Ubaidiyyun, dimana dia merayakannya dengan mewah sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam sejarahnya, beliau berkata: (berkata As Sabth: telah dihikayatkan oleh sebagian yang menghadiri perayaan Mudzaffar dalam maulid dimana dia menyajikan 5000 kepala bakar, 10000 ayam, dan 100000 susu kering, dan 30000 piring kue manis… dia berkata: diantara yang menghadirinya dalam pesta maulid para ulama, ahli sufi, dan memperdengarkan nyanyian sufi dari dhuhur hingga subuh dan dia ikut menari bersama mereka…).
Dari sini menjadi jelas bahwa perayaan maulid dan semacamnya termasuk kebid’ahan Ubaidiyyun, kemudian diikuti oleh para ahli zuhud dan raja, dan ikuti oleh orang awwam, sebagaimana kita tahu bahwa ini bertentangan dengan nas-nas syarie dan amalan para salafush shalih yang mulia.
Walaupun sebagaimana dikatakan bahwa peringatan ini diperbolehkan oleh sebagian ulama seperti Imam Subki, Suyuthi, atau Ibnu Hajar dan pernah dilakukan oleh Shalahuddin Al-Ayyubi, meskipun kita menghargai jasa para ulama besar tersebut bagi kejayaan islam dan kaum muslimin, namun ketika hal itu bertentangan dengan syariat, maka kita lebih mendahulukan kecintaan kepada Allah dan RasulNya shallallahu alaihi wasallam, apalagi diantara ulama yang sekaliber merekapun ada yang menolaknya, jadi kita menolak perayaan ini bukan dengan pendapat kita sendiri.
Seandainya hal tersebut adalah baik, maka pastilah para salafus sholih sudah melaksanakannya, karena mereka ada suri tauladan terbaik dalam kesungguhan melaksanakan ajaran yang baik karena Allah Ta’alaa berfirman yang artinya:
“Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Kalau Sekiranya di (Al Quran) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului Kami (beriman) kepadanya”. [ Al-Ahqaf: 11].
Ibnu Katsir dalam menafisrkan ayat ini berkata: adapun Ahli Sunah Wal Jamaah mereka mengatakan tentang setiap perbuatan atau perkataan yang tidak penah dipastikan dari para sahabat: adalah bid’ah karena seandainya hal itu baik tentulah mereka telah mendahului kita dalam hal itu mereka tidak pernah meninggalkan satu perbuatan baik pun kecuali mereka segera mengamalkannya. Tafsir Ibnu Katsir juz 7 hal 278.