Minggu, 28 Oktober 2012


SHOLAWAT SUNTHON

Ada seorang Sulthon (Raja) yang bernama Sulthon Mahmud Al Ghaznawi. Sepanjang hidupnya Raja ini selalu menyibukkan dirinya dengan membaca shalawat kepada nabi Muhammad SAW. Setiap selesai shalat subuh, sang raja membaca shalawat sebanyak 300.000 kali. Begitu asyiknya raja membaca shalawat sebanyak itu, seolah-olah beliau lupa akan tugasnya sebagai seorang raja, yang di pundaknya tertumpu berbagai tugas negara dan berbagai macam harapan rakyatnya yang bergantung padanya. Sehingga kalau pagi tiba, sudah banyak rakyatnya yang berkumpul di istana menunggu sang raja, untuk mengadukan persoalannya.

Namun sang raja yang ditunggu-tunggu tidak kunjung hadir. Sebab sang raja tidak akan keluar dari kamarnya, walau hari telah siang, jika belum menyelesaikan wirid shalawatnya. Setelah kejadian ini berlangsung agak lama, pada suatu malam beliau bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW.
Di dalam mimpinya, Rasulullah SAW bertanya, “Mengapa kamu berlama-lama di dalam kamar? Sedangkan rakyatmu selalu menunggu kehadiranmu untuk mengadukan berbagai persoalan mereka.” Raja menjawab, “Saya duduk berlama-lama begitu, tak lain karena saya membaca shalawat kepadamu sebanyak 300.000 kali, dan saya berjanji tidak akan keluar kamar sebelum bacaan shalawat saya selesai.”
Rasulullah SAW lalu berkata, “Kalau begitu kasihan orang-orang yang punya keperluan dan orang-orang lemah yang memerlukan perhatianmu. Sekarang aku akan ajarkan kepadamu shalawat yang apabila kamu baca sekali saja, maka nilai pahalanya sama dengan bacaan 100.000 kali shalawat. Jadi kalau kamu baca tiga kali, pahalanya sama dengan 300.000 kali shalawat yang kamu baca.” Rasulullah SAW lalu membacakan lafazh shalawat yang kemudian dikenal dengan nama shalawat sulthon.
Akhirnya, raja Mahmud lalu mengikuti anjuran Rasulullah SAW tersebut, yaitu membaca shalawat tadi sebanyak tiga kali. Dengan cara demikian,shalawat dapat beliau baca dan urusan negara dapat dijalankan dengan sempurna.
Setelah beberapa waktu mengamalkan shalawat itu, raja kembali bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Apa yang kamu lakukan, sehingga malaikat kewalahan menuliskan pahala amalmu?” Raja menjawab, “Saya tidak mengamalkan sesuatu, kecuali mengamalkan shalawat yang anda ajarkan kepada saya itu.”
inilah Solawatnya
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ رَحْمَةِ الله
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ فَضْلِ اللهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّد بِعَدَدِ خَلْقِ اللهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ مَا فِى عِلْمِ اللهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ كَرَمِ اللهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ حُرُوْفِ كَلاَمِ اللهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ كَلِمَاتِ اللهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ قَطْرِ اْلاَمْطَارِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ وَرَقِ اْلاَشْجَارِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ رَمْلِ اْلقِفَارِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ اْلحُبُوبِ وَ اْلثِمَارِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ مَا اَظْلَمَ عَلَيْهِ اللَّيْلِ وَ اَشْرَقَ عَلَيْهِ النَّهَارِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ مَنْ صَلَّ عَلَيْهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ مَنْ لَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ اَنْفَاسِ اْلخَلْقِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ لُجُُوْمِ السَمَوَاتَََِ
اَللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّد بِعَدَدِ كُلٍَّ شَىْءٍ فِى الدُّنْيَا وَاْلاَخِرَةِ
وَصَلَوَاتُ اللهِ وَ مَلاَءِكَتَهُ وَ اَنْبِيَاءِهِ وَ رُسُلِهِ وَ جَمِيْعِ خَلْقِهِ عَلَى سَيِّدِ اْلمُرْسَلِيْنَ وَ اِمَامِ اْلمُتَّقِيْنَ
وَ قَاءِدِ غُرِّ اْلمُحَجِّلِيْنَ وَ شَفِيْعِ اْلمُذْنِبِيْنَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ اصْحَابِهِ وَ اَزْوَاجِهِ
وَ ذُرِّيَتِهِ وَ اَهْلِ بَيْتِهِ وَ اْلاَءِمَّةِ اْلمَضِيِّيْنَ وَ اْلمَشَاءِخِ اْلمُتَقَدِّمِيْنَ وَ الشُّهَدَاءِ وَ الصَّالِحِيْنَ
وَ اَهْلِ طَاعَتِكَ اَجْمَعِيْنَ مِنْ اَهْلِ السَّمَوَاتِ وَ اْلاَرَضِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ
وَ يَا اَكْرَمَ اْلاَكْرَمِيْنَ وَ اْلحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ وَ صَلَّ اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلِّمْ
“Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah rahmatnya Allah. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah keutamaan dari Allah. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah ciptaan Allah. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah apa-apa yang ada dalam pengetahuan Allah. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah kemuliaan dari Allah. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah huruf Kalamullah (Kitab-Kitab Allah). Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah kalimat Allah. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak tetesan air hujan. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah daun-daun pepohonan. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah butir pasir di gurun. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah biji-bijian dan buah-buahan. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah yang dinaungi kegelapan malam dan diterangi oleh benderang siang. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah orang yang telah bershalawat kepadanya. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah orang yang belum bershalawat kepadanya. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah napas-napas makhluk ciptaan. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah apa yang ada di seluruh langit. Ya Allah limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarganya sebanyak jumlah tiap-tiap sesuatu yang ada di dalam dunia dan akhirat. Dan segenap shalawat dari Allah beserta para malaikat-Nya, dan para Nabi-Nya, dan para Rasul-Nya, dan seluruh ciptaan-Nya, semoga tercurah atas junjungan para Rasul, pemimpin orang-orang yang bertaqwa, pemuka para ahli surga, pemberi syafa’at orang-orang yang berdosa, Nabi Muhammad dan juga atas keluarganya, para sahabatnya, istri-istrinya, keturunannya, ahli baitnya, para pemimpin yang telah lampau, para guru yang terdahulu, para syuhada dan orang-orang soleh, dan yang senantiasa taat kepada Allah seluruhnya, dari penghuni bumi dan langit, dengan rahmat-Mu, wahai yang Maha Pengasih dan Penyayang, dan Engkau Yang Maha Mulia dari semua yang mulia, segala pujian bagi Allah Tuhan alam semesta. Dan shalawat serta salam atas Nabi Muhammad beserta keluarga dan sahabatnya.”
bismillahirrahmanirrahim.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi rahmatillah.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi fadhlillah
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi kholqillah.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi maa fi ilmillah.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi karomillah.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi hurufi kalamillah.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi kalimatillah.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi qothril amthor.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi waroqil asy,jar.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi romlil qifar.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi hububi wa tsimar.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi maa adhlama alaihil lail w asyroq alaihin nahar.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi man shola alaih
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi man lam yusholli alaih.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi anfasil kholq.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi nujumis samaawat.
allahuma sholi ala sayyidina Muhammad wa alaa alii sayyidina Muhammad bi ‘adaadi kulli saiy,in fid duny wal akhirah.
sholawatullahi wa malaikatihi wa anbiyaihi wa rusulhi wa jami’i kholqihi ala sayyisil mursalim wa imamil muttaqin wa qoidil ghuril muhajjalin wa syafi’il mudznibiin sayyiina Muhammadin wa alaa alihi wa shaabihi wa azwajihi wa dzurriyatihi wa ahli baitihi wal a,immatil maadhiyyin wa masyaikhil mutaqoddimin wa shuhada’i was sholihin wa ahli thoatika ajmain min ahli samaawati wal ardhiyn bi rohmatika ya arhamarrohimin wa yaa akromal akromin walhamdulillahi robbil alamain wa sholla ALLAHu ala sayyidina Muhamadin wa alaa alahih wa shohbihi wa sallam..

Selasa, 16 Oktober 2012

Kisah Nabi Khidr Dan Iskandar dzulkarnain
DI SEBALIK KISAH RAJA ISKANDAR DZUL QARNAIN
MASUK KE TEMPAT GELAP
Pada saat Raja Iskandar Dzul Qarnain pada tahun 322 S. M. berjalan di atas bumi menuju ke tepi bumi*, Allah mewakilkan seorang malaikat yang bernama Rofa’il untuk mendampingi Raja Iskandar Dzul Qarnain. Di tengah perjalanan mereka berbincang-bincang, Raja Iskandar Dzul Qarnain berkata kepada malaikat Rofa’il: “Wahai malaikat Rofa’il ceritakan kepadaku tentang ibadah para malaikat di langit”, malaikat Rofa’il berkata, “Ibadah para mailaikat di langit di antaranya ada yang berdiri tidak mengangkat kepalanya selama-lamanya, dan ada pula yang rukuk tidak mengangkat kepala selama-lamanya”.
Kemudian raja berkata, “Alanglah senangnya seandainya aku hidup bertahun-tahun dalam beribadah kepada Allah”.
Lalu malaikat Rofa’il berkata, “Sesungguhnya Allah telah menciptakan sumber air bumi, namanya ‘Ainul Hayat’ yang bererti, sumber air hidup. Maka barang siapa yang meminumnya seteguk, maka tidak akan mati sampai hari kiamat atau sehingga ia mohon kepada Allah agar supaya dimatikan”.
Kemudianya raja bertanya kepada malaikat Rofa’il, “Apakah kau tahu tempat “Ainun Hayat itu?”. mailaikat Rofa’il menjawab, “Bahwa sesungguhnya Ainun Hayat itu berada di bumi yang gelap”.
Setelah raja mendengar keterangan dari malaikat Rofa’il tentang Ainul hayat, maka raja segera mengumpulkan ‘Alim Ulama’ pada zaman itu, dan raja bertanya kepada mereka tentang Ainul Hayat itu tetapi mereka menjawab, “Kita tidak tahu khabranya, namun seoarng yang alim di antara mereka menjawab, “Sesungguhnya aku pernah membaca di dalam wasiat nabi Adam As, beliau berkata bahwa sesungguhnya Allah meletakkan Ainul Hayat di bumi yang gelap”.
“Di manakah tempat bumi gelap itu?” tanya raja. Seorang yang alim menjawab, “Di tempat keluarnya matahari”.

Kemudian raja bersiap-siap untuk mendatangi tempat itu, lalu raja bertanya kepada sahabatnya. “Kuda apa yang sangat tajam penglihatannya di waktu gelap?”. Para sahabat menjawab, “Kuda betina yang perawan”.
Kemudian raja mengumpulkan 1000 ekor kuda betina yang perawan-perawan, lalu raja memilih-milih di antara tenteranya yang seramai 6000 orang dipilih yang cendikiawan dan yang ahli mencambuk.
Di antara mereka adalah Nabi Khidir As, bahkan beliau menjabat sebagai Perdana Menteri.
Kemudian berjalanlah mereka dan Nabi Khidir berjalan di depan pasukannya dan mereka jumpai dalam perjalanan, bahwa tempat keluarnya matahari itu tepat pada arah kiblat.
Kemudian mereka tidak berhenti-henti menempuh perjalanan dalam waktu 12 tahun, sehingga sampai ditepi bumi yang gelap itu, ternyata gelapnya itu memancar seperti asap, bukan seperti gelapnya waktu malam.
Kemudian seorang yang sangat cendikiawan mencegah Raja masuk ke tempat gelap itu dan tentara-tentaranya berkata kepada raja.”Wahai Raja, sesungguhnya raja-raja yang terdahulu tidak ada yang masuk tempat yang gelap ini karena tempat yang gelap ini berbahaya.” Lalu Raja berkata: ” Kita harus memasukinya, tidak boleh tidak.”
Kemudian ketika Raja hendak masuk, maka meraka semua membiarkannya. Kemudian Raja berkata kepada pasukannya: ” Diamlah, tunggulah kalian ditempat ini selama 12 tahun, jika aku bisa datang pada kalian dalam masa 12 tahun itu, maka kedatanganku dan menunggu kalian termasuk baik, dan jika aku tidak datang sampai 12 tahun, maka pulanglah kembali ke negeri kalian”. Kemudian raja bertanya kepada Malaikat Rofa’il: ” Apabila kita melewati tempat yang gelap ini, apakah kita dapat melihat kawan-kawan kita?”. “Tidak bisa kelihatan”,jawab malaikat Rofa’il,” akan tetapi aku memberimu sebuah merjan atau mutiara, jika merjan itu ke atas bumi, maka mutiara tersebut dapat menjerit dengan suara yang keras, dengan demikian maka kawan-kawan kalian yang tersesat jalan dapat kembali kepada kalian.”
Kemudian Raja Iskandar Dzul Qurnain masuk ke tempat yang gelap itu bersama sekelompok pasukannya, mereka berjalan di tempat yang gelap itu selama 18 hari tidak pernah melihat matahari dan bulan, tidak pernah melihat malam dan siang, tidak pernah melihat burung dan binatang liar, sedangkan raja berjalan dengan didampingi oleh Nabi Khidlir As.
Di saat mereka berjalan, maka Allah memberi wahyu keapda Nabi Khidlir As,” Bahwa sesungguhnya Ainul Hayat itu berada di sebelah kanan jurang dan Ainul Hayat ini Aku khususkan untuk kamu”.
Setelah Nabi Khidlir menerima wahyu tersebut, kemudian beliau berkata kepada sahabat-sahabatnya: “Berhentilah kalian di tempat kalian masing-masing dan janganlah kalian meninggalkan tempat kalian sehingga aku datang kepada kalian.”
Kemudian beliau berjalan menuju kesebelah kanan jurang, maka dapatilah oleh beliau sebuah Ainul Hayat yang dicarinya itu. Kemudian Nabi Khidlir As turun dari kudanya dan beliau langsung melepas pakaiannya dan turun ke “Ainul Hayat” (sumber air hidup) tersebut, dan beliau terus mandi dan minum sumber air hidup tersebut, maka dirasakan oleh beliau airnya lebih manis daripada madu.
Setelah beliau mandi dan minum Ainul hayat tersebut, kemudian beliau keluar dari tempat Ainul Hayat itu terus menemui Raja Iskandar Dzulkarnain, sedangkan raja tidak tahu apa yang sedang terjadi pada Nabi Khidlir As. tentang melihat Ainul Hayat dan mandi.
(Menurut riwayat yang diceritakan oleh Wahab bin Munabbah), dia berkata, bahwa Nabi Khidlir As. adalah anak dari bibi Raja Iskandar Dzul Qarnain. Dan raja Iskandar Dzulkarnain keliling di dalam tempat yang gelap itu selama 40 hari, tiba-tiba tampak oleh Raja sinar seperti kilat, maka terlihat oleh Raja bumi yang berpasir merah dan terdengar oleh raja suara gemercik di bawah kaki kuda, kemudian Raja bertanya kepada Malaikat Rofa’il: “Gemercik ini adalah suara benda apabila seseorang mengambilnya, niscaya ia akan menyesal dan apabila tidak mengambilnya, niscaya ia akan menyesal juga.”
Kemudian di antara pasukan ada yang membawanya namun sedikit, setelah mereka keluar dari tempat yang gelap itu, ternyata bahwa benda tersebut adalah yakut yang berwarna merah dan jamberut yang berwarna hijau, maka menyesallah pasukan yang mengambil itu karena mengambilnya hanya sedikit, demikianlah pula pasukan yang tidak mengambilnya, bahkan lebih menyesal.
Diriwayatkan oleh Ats-tsa ‘ Labi dari Iman Ali Rodliayllohu ‘ anhu.
1. Cerita ini dikutib dari kitab “Baidai’iz karangan Syeikh Muhammad bin Ahmad bin Iyas halaman 166 – 168
Penerbit: Usaha Keluarga s Semarang

11. Cerita dari Kitab Nuzhatul Majalis
Karangan Syeikh Abdul Rohman Ash-Shafuri
Penerbit Darul Fikri Bairut
Halaman 257 – 258.





SIAPA NABI KHIDIR?
1. Khidir adalah seorang anak cucu Nabi Adam yang taat beribadah kepada Allah dan ditangguhkan ajalnya. (Kitab Al Ifrad karya Daruquthani dan Ibnu Asakir riwayat Ibnu Abbas.
2. Ibu Khidir berasal dari Romowi sedangkan bapaknya keturunan bangsa Parsi. (Fathul Bari juz v1, halaman 310, Al Bidayah Wan Nihayah juz 1 hal 326 Ruhul Ma’ani juz xv hal 319).
3. Kata Al Alusi, “Aku tidak membenarkan semua sumber yang menyatakan tentang riwayat asal-usul Khidir. Tetapi An Nawawi menyebutkan bahawa Khidir adalah putera raja”. (Fathul Bari juz v1 hal 390.
4. Riwayat lain mengisahkan bahawa Khidir itu anak Firaun. Wallahu a’lam bisshowab. (Tahdziebul Asma Wal Lughaat, juz 1 hal 177).
HIDUP ATAU MATI?
1. Kalangan Ulama beranggapan bahawa Khidir masih hidup. Pendapat ini tidak ditentang oleh kaum sufi dan ahli makrifat. Mereka sering berbincang tentang pengalaman bertemu, bercakap-cakap dengannya.
2. Banyak Ulama yang menpunyai dalil bukti tentang hidupnya Khidir sampai sekarang. (Syareah Muhaddzab An Nawawi juz v hal 305).
3. Abu Ishaq At Tsa’alibi berkata, “Bahawa Khidir tidak akan mati sampai akhir zaman nanti”. (Tahdzibul Asma’ Wal Lughat juz 1 hal 177, Fathul Bari juz v1 hal 310).
4. Ibrahim Al Harbi ditanya tentang hidupnya Khidir lalu menjawab, “Barangsiapa yang berkata mustahil terhadap masalah yang tidak diketahuinya, maka ia adalah syaitan yang berwujud manusia”. (Rahul Ma’ani juz xv hal 320).
Dari buku KHIDLIR – Nabi atau Wali? Hidup atau Mati?Dialog dengan Nabi Hkidir
Karya KH JAMALUDDIN KAFIE
Penerbit PT. GAROEDA BUANA INDAH – INDONESIA.

Gambar/ilustrasi sekadar hiasan.
Photo/illustration for display purposes.

Senin, 15 Oktober 2012

Hikmah: Kisah-kisah Nyata Keberkahan Manfaat SHOLAWAT

TAUBATNYA PENJAHAT Berkah Bacaan Shalawat

Seorang yang sangat zuhud bernama Syeikh Abdul Wahid bin Zaid berkisah sebagai berikut :
Seorang tetangga
kami, bekerja sebagai pegawai negeri dan sangat jahat ketika hidupnya di dunia, dan melakukan maksiat dan suka menakut-nakuti orang.
Pada suatu malam, saya melihat di dalam tidur bahwa tangan tetangga saya tersebut memegang tangan Rosululloh SAW. Saya bertanya kpd Rosululloh SAW :
“Wahai Rosululloh, seseungguhnya org ini sangat terkenal sebagai penjahat di muka Bumi, bagaimana ceritanya engkau sangat menaruh tanganmu memegang tangannya ? “ Rosululloh SAW bersabda :
“ Saya mengetahui apa yang engkau katakan tersebut. Oleh karena itu, saya datang untuk memberikan SYAFAATku kepadanya. ”
Kemudian saya bertanya kepada Rosululloh SAW :
“ Wahai Rosul, apakah kelebihan tetangga kami itu, sehingga engkau memberikan syafaatnya ? ”
Rosululloh SAW menjawab :
“ Tetanggamu itu banyak membaca SHOLAWAT kepadaku. Pada tiap malam ketika dia hendak tidur, dia selalu membaca sholawat 1000 kali ( seribu kali ), sehingga aku mohon kepada Alloh SWT mudah-mudahan syafaatku ini diterima disisi-Nya, agar tetanggamu ini bertaubat kpd-Nya.”
Berkata Syeikh Abdul Wahid ( shohibul hikayat ) :
“ Di pagi hari saya mengajar di Masjid
sebagaimana biasanya, tiba-tiba datang tetangga itu, disaat saya sedang menceritakan apa yang saya lihat di dalam tidur ( mimpi ), dia masuk dan mengucapkan salam sambil menangis, lalu dia berkata :
“ Wahai Syeikh Abdul wahid, izinkanlah aku menjabat tanganmu, karena Rosululloh SAW mengutusku kepadamu, agar aku bertaubat di hadapanmu, dan disaksikan oleh murid-muridmu di Masjid ini. ”
Syekh Abdul
Wahid telah berjabat tangan dengan tetangganya yang telah menyesali segala perbuatannya selama hidupnya tersebut. Ia berjanji tidak akan mengulanginya kembali perbuatan jahatnya tersebut.”
Subhanalloh…… Setelah itu, Syeikh Abdul Wahid bertanya kpd tetangganya tsb : “ Apakah yang menyebabkan engkau bertaubat, wahai saudaraku…?” Tetangganya
menjawab :
“ Rosululloh SAW telah
datang kepadaku di dalam tidurku, dan beliau meneceritakan kepadaku tentang Tanya jawab yang antara engkau dengan beliau, kemudian Rosululloh memegang tanganku dan bersabda:
“ Aku datang kepadamu untuk memberikan syafaat Alloh atas segala dosamu, adalah semata-mata karena engkau banyak membaca Sholawat atasku. ” “ Setelah itu beliau bertitah kepadaku, agar di pagi hari aku datang kepadamu, Wahai Syaikh….Untuk mengumumkan kepada khalayak ramai bahwa aku telah bertaubat yang sebenar-benarnya…..”
Demikianlah keberkahan membaca Sholawat atas Rosululloh SAW, ternyata tdk sia-sia bagi setiap lisan yang selalu di basahi dengan sholawat.
Kisah diatas sebagai bukti nyata Syafaat Rosululloh SAW, bahwa pembacaan sholawat dapat mengugurkan dosa-dosa yang pernah terlanjur dikerjakan oleh seseorang. Sebagaimana diterangkan dalam Hadits :
“ Diriwayatkan dari Abu Bakar As Shiddiq : belaiu berkata, bahwa sholawat kepada Nabi SAW lebih cepat menghapus dosa dari pada air dingin memdamkan api dan lebih utama dari pada memerdekakan hamba sahaya ”

( dari Kitab Bustanul Wa Idzin )


SHOLAWAT YANG DITERIMA

Di kisahkan bahwa Amir Madinah bershalawat Kepada Nabi Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam sebanyak 4000 kali tiap hari tanpa sepengetahuan siapapun, kecuali Allah.
Suatu malam ada seorang wanita miskin melahirkan anak. Ia begitu miskin hingga tak mampu membeli lampu maupun minyak bayi. Hal ini membuat suaminya sangat sedih. Dalam kesedihannya itu, ia tertidur dan bermimpi bertemu Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
“Pergi dan temuilah Amir Madinah. Katakan bahwa Nabi memerintahkannya untuk menanggung biaya sebesar 100 dinar. Tanda kebenaran berita ini adalah bacaan shalawatnya di depan jendela kuburku sebanyak 4000 kali tiap hari,” perintah Nabi Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam mimpi.
Lelaki itu lalu menemui seorang Syeikh dan menceritakan mimpinya. Mereka lalu sepakat untuk pergi ke rumah Sang Amir Madinah. Setelah keduanya duduk di hadapan Amir Madinah, Sang Syeikh berkata, “Lelaki ini bermimpi tentangmu, dengarkanlah ceritanya.” “Ceritakanlah mimpimu,” kata Amir Madinah.
Lelaki miskin itu kemudian menceritakan mimpinya.
“Mimpi mu benar. Aku bersedia menanggung biaya yang di tetapkan Nabi Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam,” kata Amir Madinah.
Ia lalu bangkit mengambil 100 dinar, “Ini biaya yang harus ku tanggung.”
Ia kemudian memberikan 100 dinar lagi, “Ini Hadiah untuk kabar gembira yang kau bawa, yaitu di terimanya shalawatku oleh Nabi Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam.”
Ia menyerahkan 100 dinar lagi. “Ambillah ini, belanjakanlah untuk keperluan keluargamu dan bayi yang baru lahir,” kata sang Amir.
Perhatikanlah keikhlasan Amir Madinah dalam beribadah. Ia bershalawat kepada Nabi Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Nabi Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam merasa senang dan memberinya kabar gembila di dunia.
Sedangkan kita, mengapa jika kita bershalawat atau bersedekah tidak melihat tanda-tanda pengabulan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. MENGAPA?
Aku tidak melihat sebab lain, kecuali tebalnya hijab, karena kita melakukan hal – hal yang tidak pantas. Yaitu hal – hal yang menjauhkan kita dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala…

Sumber Buku Kisah dan Hikmah Dalam Kalam Habib Muhammad Bin Hadi Asseqaf
pimpinan majlis ta'lim baiturrahim pangkalan jati cipinang melayu jakarta timur
Perayaan mawlid-ur-rasūl tidak pernah dilakukan oleh para salaf-us-ṣālih di kurun ketiga yang pertama [1], meskipun mereka mengagungkan dan menyayangi RasūlulLāh Ṣ.‘A.W di mana kecintaan (dan kasih-sayang) mereka kepada baginda sama sekali tidak dapat ditandingi oleh umat Islam masa kini.
Walau bagaimanapun, ia (sambutan tersebut) adalah aktiviti yang elok jika pelakunya mempunyai tujuan yang baik menghimpunkan orang-orang yang ṣālih dan berṣalawat ke atas RasūlulLāh Ṣ.‘A.W, memberikan makanan kepada golongan fakir dan miskin, dan ianya diberikan pahala oleh الله dengan syarat perlakuan tersebut (memberikan makanan) dilakukan sepanjang masa (tidak terhad ketika sambutan mawlid-ur-rasūl sahaja).
Imām Ash-Shāfi‘īy r.ḥ (meninggal 204H) berkata : “Perkara-perkara baru itu terbahagi kepada dua, pertamanya, apa-apa perkara baru yang menyalahi kitāb (Al-Qur’ān) atau sunnah atau āthār atauijmā‘, maka ia adalah bid‘ah yang sesat; dan keduanya, apa-apa perkara baru yang baik yang tidak menyalahi salah satu yang tersebut, maka ia adalah perkara baru yang tidak dicela.” ‘Umar r.‘a berkata tentang mendirikan (ṣalāt tarāwīḥ di bulan) Ramaḍān: “Sebaik-baik bid‘ah ialah ini.” Maksud beliau ialah perkara demikian adalah hal yang baru, tidak pernah ada sebelum ini. Disebabkan ia adalah begitu (bid‘ah yang baik), ia tidaklah boleh ditolak apa-apa (hukum) yang telah lalu. Maka, bid‘ah yang baik itu telah disepakati akan keharusan melakukannya dan galakan kepadanya dengan harapan mendapat pahala bagi mereka yang mempunyai niat yang baik padanya, iaitu setiap perkara baru yang berbetulan dengan kaedah-kaedah sharī‘ah tanpa menyalahinya sesuatu pun, tentulah tiada kemudaratan dari segi shara‘ untuk melakukannya.
Dan, sambutan dengan dhikir-dhikir yang baik telah thābit dan mempunyai asal dari segi shara‘, di mana terdapat riwayat daripada Ibnu ‘Abbās r.‘a: “Bahawa Nabīy Ṣ.‘A.W ketika baginda tiba di Madinah, baginda dapati mereka sedang berpuasa sehari, iaitu ‘Āshūra’. Lalu, mereka berkata: “Ini adalah hari yang agung, dan iaitu hari الله melepaskan Mūsā ‘a.s dan menenggelamkan keluarga Fir‘aūn, maka Mūsā ‘a.s berpuasa sebagai tanda syukur kepada الله.” Maka baginda (RasūlulLāh Ṣ.‘A.W) bersabda (mafhūmnya): “ Aku lebih utama dengan Mūsā ‘a.s berbanding mereka.” Baginda kemudiannya berpuasa, dan baginda mengarahkan dengan berpuasa (pada hari tersebut) [2].”
Sebab itu, dapatlah difahami daripada perbuatan tersebut (puasa) sebagai tanda syukur kepada الله تعالى atas apa-apa yang telah Dia anugerahkan pada hari tertentu daripada limpahan nikmat atau penolakan bencana dan dikira demikian itu pada seumpama hari tersebut setiap tahun.
Dan, (menyatakan) kesyukuran kepada الله تعالى boleh terhasil dengan pelbagai bentuk ibadat seperti puasa, sedekah, dan membaca Al-Qur’ān, dan adakah nikmat yang lebih agung yang telah الله kurniakan kepada kita selain daripada kelahiran Nabīy Ṣ.‘A.W yang membawa raḥmat pada hari tersebut? Firman الله تعالى yang bermaksud : “Demi sesungguhnya الله telah mengurniakan kepada orang-orang yang beriman apabila Dia telah mengutuskan seorang rasūl untuk mereka ,dia daripada kalangan mereka sendiri, dia membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, dan dia membersihkan mereka, dan dia mengajarkan mereka Al-Kitāb dan ḥikmah, dan meskipun mereka sebelum (ini) berada di dalam kesesatan yang nyata.” – Sūrah ’Āli ‘Imrān:164
Berdasarkan apa-apa yang telah disebut sebelum ini dan perkara yang dibangkitkan oleh penyoal, maka sesungguhnya sambutan kelahiran Nabīy Ṣ.‘A.W itu tidaklah ditegah oleh shara‘, kerana terdapat padanya penzahiran rasa keseronokan dan kegembiraan dengan kelahiran Nabīy Ṣ.‘A.W, serta memberikan peringatan kepada umat Islam dengan sīrah baginda yang mengharum dan jalannya yang sempurna dalam menyebarkan da‘wah islāmiyyah. Namun begitu, menjadi kemestian bahawa dipelihara pada sambutan tersebut pegangan yang teguh dengan adab-adab dan pedoman-pedoman Islam sehingga jadilah ia satu sambutan yang mengandungi maksud sebenar untuk menegakkan ketamadunan Islam. Misalnya, (aktiviti) pembacaan Al-Qur’ān, perbanyakkanṣalawat ke atas Nabīy Ṣ.‘A.W, mengadakan forum-forum ilmiah yang dengannya memberikan peringatan kepada umat Islam mengenai sīrah baginda Ṣ.‘A.W, jihadnya pada jalan الله, dan juga memberikan kesedaran kepada mereka dengan sejarah Islam yang mengumpulkan para mujāhidīn,‘ulamā’ dan awliyā’. Begitu juga, wajiblah memelihara pada sambutan tersebut daripada sebarang percampuran antara lelaki dengan perempuan, dan tidaklah berlaku di dalamnya main-main dan kekacauan atau apa-apa perkara yang menyalahi ajaran Islam, dan tidak digunakan di dalamnya alat-alat yang melalaikan dan menghiburkan seperti seruling, drum, dan seumpamanya.
Nota kaki:
[1] Imām As-Suyūtīy r.ḥ (meninggal 911H), Ḥusn-ul-Maqṣid Fī ‘Amal-il-Mawlid, m.s 16, Dār-ul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut,Lebanon
[2] Imām Bukhārīy r.ḥ (meninggal 256H), Ṣaḥīḥ-ul-Bukhārīy, Kitāb ’Aḥādīth-il-’Anbiyā’, nombor 3216

Sayyid Ja’far Bin Husain Bin Abdul Karim Al-Barzanji
Garis Keturunannya:
Sayyid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Syed ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Syed ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali r.a. dan Sayidatina Fatimah binti Rasulullah saw.

Dinamakan Al-Barjanzy karena dinisbahkan kepada nama desa pengarang yang terletak di Barjanziyah kawasan Akrad (kurdistan). Kitab tersebut nama aslinya ‘Iqd al-Jawahir (Bahasa Arab, artinya kalung permata) sebagian ulama menyatakan bahwa nama karangannya adalah “I’qdul Jawhar fi mawlid anNabiyyil Azhar”. yang disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad saw, meskipun kemudian lebih terkenal dengan nama penulisnya.
Beliau dilahirkan di Madinah Al Munawwarah pada hari Kamis, awal bulan Zulhijjah tahun 1126 H (1711 M). Beliau menghafal Al-Quran 30 Juz kepada Syaikh Ismail Alyamany dan Tashih Quran (mujawwad) kepada syaikh Yusuf Asho’idy kemudian belajar ilmu naqliyah (quran Dan Haditz) dan ‘Aqliyah kepada ulama-ulama masjid nabawi Madinah Al Munawwarah dan tokoh-tokoh qabilah daerah Barjanzi kemudian belajar ilmu nahwu, sharaf, mantiq, Ma’ani, Badi’, Faraidh, Khat, hisab, fiqih, ushul fiqh, falsafah, ilmu hikmah, ilmu teknik, lughah, ilmu mustalah hadis, tafsir, hadis, ilmu hukum, Sirah Nabawi, ilmu sejarah semua itu dipelajari selama beliau ikut duduk belajar bersama ulama-ulama masjid nabawi. Dan ketika umurnya mencapai 31 tahun atau bertepatan 1159 H barulah beliau menjadi seorang yang ‘Alim wal ‘Allaamah dan Ulama besar.
Kitab “Mawlid al-Barzanji” ini telah disyarahkan oleh al-’Allaamah al-Faqih asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan panggilan Ba`ilisy yang wafat tahun 1299H dengan satu syarah yang memadai, cukup elok dan bermanfaat yang dinamakan “al-Qawl al-Munji ‘ala Mawlid al-Barzanji” yang telah banyak kali diulang cetaknya di Mesir.
Di samping itu, kitab Mawlid Sidi Ja’far al-Barzanji ini telah disyarahkan pula oleh para ulama kenamaan umat ini. Antara yang masyhur mensyarahkannya ialah Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy al-Maaliki al-’Asy’ari asy-Syadzili al-Azhari dengan kitab “al-Qawl al-Munji ‘ala Mawlid al-Barzanji”. Beliau ini adalah seorang ulama besar keluaran al-Azhar asy-Syarif, bermazhab Maliki lagi Asy`ari dan menjalankan Thoriqah asy-Syadziliyyah. Beliau lahir pada tahun 1217H (1802M) dan wafat pada tahun 1299H (1882M).
Selain itu ulama kita kelahiran Banten, Pulau Jawa, yang terkenal sebagai ulama dan penulis yang produktif dengan banyak karangannya, yaitu Sayyidul ‘Ulama-il Hijaz, an-Nawawi ats-Tsani, Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi turut menulis syarah yang lathifah bagi “Mawlid al-Barzanji” dan karangannya itu dinamakannya “Madaarijush Shu`uud ila Iktisaa-il Buruud”. Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid Isma`il bin Sayyid Zainal ‘Abidin bin Sayyid Muhammad al-Hadi bin Sayyid Zain yang merupakan suami kepada satu-satunya anak Sayyid Ja’far al-Barzanji, telah juga menulis syarah bagi “Mawlid al-Barzanji” tersebut yang dinamakannya “al-Kawkabul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jawhar fi Mawlidin Nabiyil Azhar”. Sayyid Ja’far ini juga adalah seorang ulama besar keluaran al-Azhar asy-Syarif. Beliau juga merupakan seorang Mufti Syafi`iyyah. Karangan-karangan beliau banyak, antaranya: “Syawaahidul Ghufraan ‘ala Jaliyal Ahzan fi Fadhaa-il Ramadhan”, “Mashaabiihul Ghurar ‘ala Jaliyal Kadar” dan “Taajul Ibtihaaj ‘ala Dhau-il Wahhaaj fi Israa` wal Mi’raaj”. Beliau juga telah menulis sebuah manaqib yang menceritakan perjalanan hidup dan ketinggian nendanya Sayyid Ja’far al-Barzanji dalam kitabnya “ar-Raudhul A’thar fi Manaqib as-Sayyid Ja’far”.
Kembali kepada Sidi Ja’far al-Barzanji, selain dipandang sebagai mufti, beliau juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia tersebut. Beliau terkenal bukan sahaja kerana ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi juga dengan kekeramatan dan kemakbulan doanya. Penduduk Madinah sering meminta beliau berdoa untuk hujan pada musim-musim kemarau. Diceritakan bahawa satu ketika di musim kemarau, sedang beliau sedang menyampaikan khutbah Jumaatnya, seseorang telah meminta beliau beristisqa` memohon hujan. Maka dalam khutbahnya itu beliau pun berdoa memohon hujan, dengan serta merta doanya terkabul dan hujan terus turun dengan lebatnya sehingga seminggu, persis sebagaimana yang pernah berlaku pada zaman Junjungan Nabi s.a.w. dahulu. Menyaksikan peristiwa tersebut, maka sebahagian ulama pada zaman itu telah memuji beliau dengan bait-bait syair yang berbunyi:-
سقى الفروق بالعباس قدما * و نحن بجعفر غيثا سقينا
فذاك و سيلة لهم و هذا * وسيلتنا إمام العارفينا
Dahulu al-Faruuq dengan al-’Abbas beristisqa` memohon hujan
Dan kami dengan Ja’far pula beristisqa` memohon hujan
Maka yang demikian itu wasilah mereka kepada Tuhan
Dan ini wasilah kami seorang Imam yang ‘aarifin
Sidi Ja’far al-Barzanji wafat di Kota Madinah dan dimakamkan di Jannatul Baqi`, sebelah bawah maqam beliau dari kalangan anak-anak perempuan Junjungan Nabi s.a.w. Karangannya membawa umat ingatkan Junjungan Nabi s.a.w., membawa umat kasihkan Junjungan Nabi s.a.w., membawa umat rindukan Junjungan Nabi s.a.w. Setiap kali karangannya dibaca, pasti sholawat dan salam dilantunkan buat Junjungan Nabi s.a.w. Juga umat tidak lupa mendoakan Sayyid Ja’far yang telah berjasa menyebarkan keharuman pribadi dan sirah kehidupan makhluk termulia keturunan Adnan. Allahu … Allah.
اللهم اغفر لناسج هذه البرود المحبرة المولدية
سيدنا جعفر من إلى البرزنج نسبته و منتماه
و حقق له الفوز بقربك و الرجاء و الأمنية
و اجعل مع المقربين مقيله و سكناه
و استرله عيبه و عجزه و حصره و عيه
و كاتبها و قارئها و من اصاخ إليه سمعه و اصغاه
Ya Allah ampunkan pengarang jalinan mawlid indah nyata
Sayyidina Ja’far kepada Barzanj ternisbah dirinya
Kejayaan berdamping denganMu hasilkan baginya
Juga kabul segala harapan dan cita-cita
Jadikanlah dia bersama muqarrabin berkediaman dalam syurga
Tutupkan segala keaiban dan kelemahannya
Segala kekurangan dan kekeliruannya
Seumpamanya Ya Allah harap dikurnia juga
Bagi penulis, pembaca serta pendengarnya
و صلى الله على سيدنا محمد و على اله و صحبه و سلم
و الحمد لله رب العالمين
Dalam bukunya, Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan terhadap Nabi SAW dalam Islam (1991), sarjana Jerman peneliti Islam, Annemarie Schimmel, menerangkan bahwa teks asli karangan Ja’far al-Barzanji, dalam bahasa Arab, sebetulnya berbentuk prosa. Namun, para penyair kemudian mengolah kembali teks itu menjadi untaian syair, sebentuk eulogy bagi Sang Nabi.
Untaian syair itulah yang tersebar ke berbagai negeri di Asia dan Afrika, tak terkecuali Indonesia. Tidak tertinggal oleh umat Islam penutur bahasa Swahili di Afrika atau penutur bahasa Urdu di India, kita pun dapat membaca versi bahasa Indonesia dari syair itu, semisal hasil terjemahan HAA Dahlan atau Ahmad Najieh, meski kekuatan puitis yang terkandung dalam bahasa Arab kiranya belum sepenuhnya terwadahi dalam bahasa kita sejauh ini.
Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa karya Ja’far al-Barzanji merupakan biografi puitis Nabi Muhammad SAW. Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua: “Natsar” dan “Nadhom”. Bagian “Natsar” terdiri atas 19 subbagian yang memuat 355 untaian syair, dengan mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi Muhammad SAW, mulai dari saat-saat menjelang paduka dilahirkan hingga masa-masa tatkala paduka mendapat tugas kenabian. Sementara, bagian “Nadhom” terdiri atas 16 subbagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir “nun”.
Dalam untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa betul adanya keterpukauan sang penyair oleh sosok dan akhlak Sang Nabi. Dalam bagian “Nadhom”, misalnya, antara lain diungkapkan sapaan kepada Nabi pujaan: Engkau mentari, engkau bulan/ Engkau cahaya di atas cahaya.
Di antara idiom-idiom yang terdapat dalam karya ini, banyak yang dipungut dari alam raya seperti matahari, bulan, purnama, cahaya, satwa, batu, dan lain-lain. Idiom-idiom seperti itu diolah sedemikian rupa, bahkan disenyawakan dengan shalawat dan doa, sehingga melahirkan sejumlah besar metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi sendiri, misalnya, dilukiskan sebagai “untaian mutiara”.
Namun, bahasa puisi yang gemerlapan itu, seringkali juga terasa rapuh. Dalam karya Ja’far al-Barzanji pun, ada bagian-bagian deskriptif yang mungkin terlampau meluap. Dalam bagian “Natsar”, misalnya, sebagaimana yang diterjemahkan oleh HAA Dahlan, kita mendapatkan lukisan demikian: Dan setiap binatang yang hidup milik suku Quraisy memperbincangkan kehamilan Siti Aminah dengan bahasa Arab yang fasih.
Betapapun, kita dapat melihat teks seperti ini sebagai tutur kata yang lahir dari perspektif penyair. Pokok-pokok tuturannya sendiri, terutama menyangkut riwayat Sang Nabi, terasa berpegang erat pada Alquran, hadis, dan sirah nabawiyyah. Sang penyair kemudian mencurahkan kembali rincian kejadian dalam sejarah ke dalam wadah puisi, diperkaya dengan imajinasi puitis, sehingga pembaca dapat merasakan madah yang indah.
Salah satu hal yang mengagumkan sehubungan dengan karya Ja’far al-Barzanji adalah kenyataan bahwa karya tulis ini tidak berhenti pada fungsinya sebagai bahan bacaan. Dengan segala potensinya, karya ini kiranya telah ikut membentuk tradisi dan mengembangkan kebudayaan sehubungan dengan cara umat Islam di berbagai negeri menghormati sosok dan perjuangan Nabi Muhammad SAW.
Sifatnya:
Wajahnya tampan, perilakunya sopan, matanya luas, putih giginya, hidungnya mancung,jenggotnya yang tebal,Mempunyai akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakkur, mendahului dalam membuat kebajikan bersedekah,dan sangat pemurah.
Seorang ulama besar yang berdedikasi mengajarkan ilmunya di Masjid Kakeknya (Masjid Nabawi) SAW sekaligus beliau menjadi seorang mufti Mahzhab Syafiiyah di kota madinah Munawwarah.
“Al-’Allaamah al-Muhaddits al-Musnid as-Sayyid Ja’far bin Hasan al-Barzanji adalah MUFTI ASY-SYAFI`IYYAH di Kota Madinah al-Munawwarah. Banyak perbedaan tentang tanggal wafatnya, sebagian menyebut beliau meninggal pada tahun 1177 H. Imam az-Zubaidi dalam “al-Mu’jam al-Mukhtash” menulis bahwa beliau wafat tahun 1184 H, dimana Imam az-Zubaidi pernah berjumpa dengan beliau dan menghadiri majelis pengajiannya di Masjid Nabawi yang mulia.
Maulid karangan beliau ini adalah kitab maulid yang paling terkenal dan paling tersebar ke pelosok negeri ‘Arab dan Islam, baik di Timur maupun di Barat. Bahkan banyak kalangan ‘Arab dan ‘Ajam (luar Arab) yang menghafalnya dan mereka membacanya dalam waktu-waktu tertentu. Kandungannya merupakan khulaashah (ringkasan) sirah nabawiyyah yang meliputi kisah lahir baginda, perutusan baginda sebagai rasul, hijrah, akhlak, peperangan sehingga kewafatan baginda.
Wafat:
Beliau telah kembali ke rahmatullah pada hari Selasa, setelah Asar,4 Sya’ban, tahun 1177 H (1766 M). Jasad beliau makamkan di Baqi’ bersama keluarga Rasulullah saw.
Kitab maulid Barzanji sendiri telah disyarah (dijelaskan) oleh ulama-ulama besar seperti Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy al-Maaliki al-’Asy’ari asy-Syadzili al-Azhari yang mengarang kitab “al-Qawl al-Munji ‘ala Mawlid al- Barzanji” dan Sayyidul ‘Ulama-il Hijaz, Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi “Madaarijush Shu`uud ila Iktisaa-il Buruud”. (Mh/MM)
.

Minggu, 14 Oktober 2012

hadroh al-fata: Sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW   Maulid Nabi at...

hadroh al-fata: Sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW 
 Maulid Nabi at...
: Sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW     Maulid Nabi atau Maulud adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, dimana di Negara Indone...
Sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW  

 Maulid Nabi atau Maulud adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, dimana di Negara Indonesia perayaannya jatuh pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Kata maulid atau milad di ambil dari bahasa bahasa Arab yang artinya hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad. Seperti yang tercatat wikipedia; sejarah awal mula perayaan maulud nabi Muhammad SAW diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang gubernur Irbil, di Irak pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193). Adapula yang berpendapat bahwa idenya justru berasal dari Sultan Salahuddin sendiri. Tujuan Maulud Nabi adalah untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat itu, yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem dan sekitarnya. Untuk lebih lanjut mempelajari sejarah awal mula maulid nabi, seperti biasa awalmula.com berbagi informasi yang dirangkum dari berbagai sumber untuk menambah ilmu pengetahuan kita tentang sejarah lahirnya nabi Muhammad SAW.
Sejarah Awal Mula Maulid Nabi
Pertama kali yang mengada-adakan hari-hari raya dan perayaan-perayaan secara umumnya Maulid-maulid secara khususnya adalah Ubaidiyyun, sebagaimana disebutkan oleh Al Maqrizi dalam kitabnya “ Al-Mawa’idz Wal I’tibar Bidzikril Khuthath Wal Aatsar “ secara nasnya:
(dahulu para khalifah Bani Fathimiyyun sepanjang tahunnya memiliki hari-hari raya dan musim-musim yaitu: musim permulaan tahun, hari Asyura, dan Maulid Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan mauled Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu, dan mauled Hasan dan Husin radhiallahu anhuma, dan mauled Fathimah Az-Zahra radhiallahu anha, dan maulid khalifah Al hadhir, malam pertama Rajab, malam pertengahan Rajab, malam pertama Sya’ban, malam pertengahan Sya’ban, musim malam Ramadhan, awal Ramadhan, Pertengahan Ramadhan, akhir Ramadhan …)
Dan Al-Maqrizi menyebutkan sebagian yang dilakukan pada perayaan-perayaan dan hari-hari raya khususnya enam maulid. Syaikh Muhammad Bakhit Al-Muthi’ie Mantan Mufti Mesir menyebutkan dalam kitabnya: (Ahsanul Kalam Fiima Yata’allaqu bissunnah wal bid’ah minal Ahkam ): bahwa pertama kali yang mengada-adakan enam perayaan maulid tersebut yakni: Maulid Nabi shallallahu alaihi wasallam, maulid Ali, Fathimah, Hasan, Husain radhiallahu anhum, dan maulid Khalifah Al-Hadzir yaitu Al-Mu’izzu Lidinillah dan itu pada tahun 362 H. dan bahwa perayaan-perayaan ini berlangsung hingga dibatalkan oleh Al-Afdzal bin Amirul Jaisy setelah itu.
Siapakah Bani Ubaidiyyun ?
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam kitabnya “ Al-Bidayah Wannihayah”:
(Raja Bani Fathimiyyun telah berkuasa selama 280 tahun. Yang pertama berkuasa adalah Al-Mahdi yang merupakan orang yahudi, lalu masuk kenegeri Maroko dan menggunakan nama Ubaidillah, dan mengaku sebagai keturunan ‘Alawi Fathimiy, dan mengatakan tentang dirinya: bahwa dia Al-Mahdi, yang mana dakwaan pendusta ini didukung oleh orang-orang yang jahil, sehingga mereka memiliki Negara dan kekuatan, dan mendirikan sebuah kota yang diberi nama Al-Mahdiyah dinisbatkan kepadanya, dan dia menjadi raja yang ditaati.
Kemudian diteruskan oleh anaknya Al-Qoim Muhammad, kemudian anaknya Al-Manshur Ismail, kemudian anaknya Al-Mu’izzu Ma’din, dialah pertama dari mereka yang memasuki negeri Mesir, dan dibangun untuknya Kairo Al-Mu’izziyah dan istana-istana kemudian anaknya Al-Aziz Nazzar, kemudian anaknya Al-hakim Manshur, kemudian anaknya Ath-Thahir Ali, kemudian anaknya Al-Mushtansir Ma’din, kemudian anaknya Al-Musta’li Ahmad, kemudian anaknya Al-Amir Manshur, kemudian anak pamannya Al-Hafidz Abdul Majid, kemudian anaknya Adh-Dhafir Ismail, kemudian Al-Faiz Isa, kemudian anak pamannya Al-‘Adzid Abdullah, yang terakhir dari mereka, yang seluruhnya 14 raja selama 280 tahunan.
Dahulu Bani Fathimiyyun merupakan khalifah yang terkaya, terkejam dan paling dholim, yang paling bejat sejarahnya, muncul dimasa mereka kebid’ahan dan kemungkaran, dan banyak pelaku kerusakan sedikit disisi mereka orang-orang shalih dari para ulama dan ahli ibadah, dan banyak tersebar dinegeri syam agama Kristen, Durruziyah, dan Hasyisyiyah..).
Inilah sekilas dari sejarah mereka supaya mereka yang menghidupkan perayaan Maulid dan lainnya siapakah tauladan mereka dalam perkara ini sehingga mereka mengikuti petunjuk dan menyerupai mereka. Sehingga tidak masuk akal apabila para salafush sholih tidak mengenal hal ini lalu mereka mengikuti para Ubaidiyyun yang sesat !!
Sultan Irbil dan perayaan Maulid:
Dahulu di Mosul ada ahli zuhud yaitu Syaikh Umar bin Muhammad Al-Mulla (dahulu dia memiliki satu ruangan yang selalu didatanginya, dan setiap tahunnya dibulan Maulid ada undangan yang didatangi oleh para raja, pemerintah, para ulama, menteri dan mereka merayakan hal itu)
Abu Syamah berkata dalam kitabnya: “ Al-Ba’its ‘alaa inkaril Bida’I wal hawadits” ketika membahas tentang maulid nabi: (pertama kali yang melakukannya di Mosul Syaikh Umar bin Muhammad Al-Mulla seorang yang shalih yang masyhur yang diikuti kemudian oleh Sultan Irbil dan yang lain semoga Allah merahmati mereka).
Dan Sultan Irbil disini adalah Al-Mudzaffar Abu Sa’id Kukburi bin Zaidud diin Ali bin Tabaktakin Sultan Irbil yang wafat tahun (630 H) yang paling terkenal dalam merayakan Maulid Nabi secara berlebihan setelah Ubaidiyyun, dimana dia merayakannya dengan mewah sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam sejarahnya, beliau berkata: (berkata As Sabth: telah dihikayatkan oleh sebagian yang menghadiri perayaan Mudzaffar dalam maulid dimana dia menyajikan 5000 kepala bakar, 10000 ayam, dan 100000 susu kering, dan 30000 piring kue manis… dia berkata: diantara yang menghadirinya dalam pesta maulid para ulama, ahli sufi, dan memperdengarkan nyanyian sufi dari dhuhur hingga subuh dan dia ikut menari bersama mereka…).
Dari sini menjadi jelas bahwa perayaan maulid dan semacamnya termasuk kebid’ahan Ubaidiyyun, kemudian diikuti oleh para ahli zuhud dan raja, dan ikuti oleh orang awwam, sebagaimana kita tahu bahwa ini bertentangan dengan nas-nas syarie dan amalan para salafush shalih yang mulia.
Walaupun sebagaimana dikatakan bahwa peringatan ini diperbolehkan oleh sebagian ulama seperti Imam Subki, Suyuthi, atau Ibnu Hajar dan pernah dilakukan oleh Shalahuddin Al-Ayyubi, meskipun kita menghargai jasa para ulama besar tersebut bagi kejayaan islam dan kaum muslimin, namun ketika hal itu bertentangan dengan syariat, maka kita lebih mendahulukan kecintaan kepada Allah dan RasulNya shallallahu alaihi wasallam, apalagi diantara ulama yang sekaliber merekapun ada yang menolaknya, jadi kita menolak perayaan ini bukan dengan pendapat kita sendiri.
Seandainya hal tersebut adalah baik, maka pastilah para salafus sholih sudah melaksanakannya, karena mereka ada suri tauladan terbaik dalam kesungguhan melaksanakan ajaran yang baik karena Allah Ta’alaa berfirman yang artinya:
“Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Kalau Sekiranya di (Al Quran) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului Kami (beriman) kepadanya”. [ Al-Ahqaf: 11].
Ibnu Katsir dalam menafisrkan ayat ini berkata: adapun Ahli Sunah Wal Jamaah mereka mengatakan tentang setiap perbuatan atau perkataan yang tidak penah dipastikan dari para sahabat: adalah bid’ah karena seandainya hal itu baik tentulah mereka telah mendahului kita dalam hal itu mereka tidak pernah meninggalkan satu perbuatan baik pun kecuali mereka segera mengamalkannya. Tafsir Ibnu Katsir juz 7 hal 278.

sejarah hadroh

Hadhroh pertama kali di perkenalkan oleh seorang tokoh tasawuf yang sampai sekarang karya – karyanya masih di perbincangkan oleh pakar – pakar serta sarjana – sarjana di dunia timur maupun barat, beliau adalah Jalaluddin Rumi Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma). Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207, Fariduddin Attar, seorang tokoh sufi, ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak akan menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat, ramalan Fariduddin itu tidak meleset. Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama (raja ulama). Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan merekapun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru beruisa lima tahun.Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain.
Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun. Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Ia baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar pada perguruan tersebut. Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, ia juga menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu di Konya banyak tokoh ulama berkumpul. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia. Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika ia sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang mempunyai murid sebanyak 4.000 orang. Sebagaimana layaknya seorang ulama, ia juga memberi fatwa dan menjadi tumpuan ummat untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika ia berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin/Syamsi Tabriz. Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba- tiba seorang lelaki asing—yakni Syamsi Tabriz—ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?” Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat pada sasarannya. Ia tidak mampu menjawab. Berikutnya, Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, ia mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi. Ia berbincang-bincang dan berdebat tentang berbagai hal dengan Tabriz. Mereka betah tinggal di dalam kamar hingga berhari-hari. Sultan walad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, “Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya. ”Rumi benar-benar tunduk kepada guru barunya itu. Di matanya, Tabriz benar-benar sempurna. Cuma celakanya, Rumi kemudian lalai dengan tugas mengajarnya. Akibatnya banyak muridnya yang protes. Mereka menuduh orang asing itulah biang keladinya. Karena takut terjadi fitnah dan takut atas keselamatan dirinya, Tabriz lantas secara diam-diam meninggalkan Konya. Bak remaja ditinggalkan kekasihnya, saking cintanya kepada gurunya itu, kepergian Tabriz itu menjadikan Rumi dirundung duka. Rumi benar-benar berduka. Ia hanya mengurung diri di dalam rumah dan juga tidak bersedia mengajar. Tabriz yang mendengar kabar ini, lantas berkirim surat dan menegur Rumi. Karena merasakan menemukan gurunya kembali, gairah Rumi bangkit kembali. Dan ia mulai mengajar lagi. Beberapa saat kemudian ia mengutus putranya, Sultan walad untuk mencari Tabriz di Damaskus. Lewat putranya tadi, Rumi ingin menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf atas tindakan murid-muridnya itu dan menjamin keselamatan gurunya bila berkenan kembali ke Konya. Demi mengabulkan permintaan Rumi itu, Tabriz kembali ke Konya. Dan mulailah Rumi berasyik-asyik kembali dengan Tabriz. Lambat-laun rupanya para muridnya merasakan diabaikan kembali, dan mereka mulai menampakkan perasaan tidak senang kepada Tabriz. Lagi-lagi sufi pengelana itu, secara diam-diam meninggalkan Rumi, lantaran takut terjadi fitnah. Kendati Rumi ikut mencari hingga ke Damaskus, Tabriz tidak kembali lagi. Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga ia menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, ia tulis syair- syair, yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan-i Syams-i Tabriz. Ia bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat-i Syams Tabriz. Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syekh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, ia berhasil selama 15 tahun terakhir masa hidupnya menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi-i. Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain. Karya tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak empat baris dalam jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang tasawuf), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya). Bersama Syekh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan tarekat Maulawiyah atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (Para Darwisy yang Berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.
WAFAT. Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan, gara-gara mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, sakit keras. Meski menderita sakit keras, pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya.Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo’akan, “Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan.” Rumi sempat menyahut, “Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga kafir dan pahit.”Pada 5 Jumadil Akhir 672 H dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desak ingin menyaksikan. Begitulah kepergian seseorang yang dihormati ummatnya